Opini; Polemik RUU HIP, Menolak Tak Gunakan Nalar

Redaksi
30 Jun 2020 14:38
7 menit membaca

Oleh Angga Hermanda

Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi polemik yang terpolar. Dari kontroversi terbagi ada yang bersimpati, dan ada juga penolakan.

Sikap terakhir lebih banyak mengemuka di berbagai media massa. Perbedaan didasari oleh substansi konstitusi, konten batang tubuh pasal per pasal, kepentingan politik, juga tak sedikit karena kebencian yang mendalam.

Secara substansi, RUU HIP memang belum layak dibahas parlemen. Misalnya saja pada pasal 15 tentang Demokrasi Ekonomi Pancasila, secara nyata RUU HIP menyadur keseluruhan Pasal 33 UUD NRI.

Bagaimana secara hukum tata negara, apakah bisa dasar negara sebagai sumber dari segala sumber hukum secara hirarki peraturan perundang-undangan terdegradasi menjadi UU?

Walau pertanyaan substansi terkadang lebih tersisih dibandingkan isu politik. Sebagaimana RUU HIP yang dikhawatirkan akan kembali membangkitkan komunisme.

Banyak alasan karena konsederan RUU HIP tak mencantumkan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966. Ketetapan mengatur pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.

Karena masih dibahas parlemen, usulan penambahan konsideran sangat baik. Namun kekhawatiran yang menjadi alasan tidak begitu mendasar, karena tak ada satu frasa pun dalam RUU HIP yang mengarah pada pembangkitan setan komunisme.

Mungkin saja tuduhan itu disematkan ke pasal pemerasan Pancasila menjadi trisila, yakni socio-nationalism, socio-democratie, dan ketuhanan, kemudian ekasila yakni gotong royong.

Kritik akan trisila dan ekasila yang masuk di dalam RUU HIP tentu saja cukup dimengerti. Sebab trisila dan ekasila hanya tawaran Bung Karno yang termaktub dalam pidato di sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

Tentu saja bukan menjadi Pancasila yang disepakati tanggal 18 Agustus 1945. Akan tetapi, kritik trisila dan ekasila sebagai agenda PKI atau komunisme cukup berlebihan dan tak bernalar.

Bersandar pada kebencian yang mendalam, kritik kemudian bergeser dari penolakan terhadap RUU HIP menjadi kampanye de-sukarnoisasi dan pembakaran bendera salah satu partai politik.

Pada posisi ini, kita sebagai bangsa tentu harus kembali bercermin pada keluhuran adab para pendiri republik.

Kebenaran Sejarah Tidak Boleh Diselimuti Dendam

Walau lebih condong sebagai tokoh nasionalis, Bung Karno juga diakui sebagai pemikir islam. Misalnya ia menulis autokritik Islam Indonesia dalam buku: Islam Sontoloyo. Ia mengkritik muslim yang terlalu mementingkan kulit dibandingkan isi dari jiwa Islam itu sendiri.

Bung Karno memang terkadang dicap sebagai musuh politik islam dan aktor utama pembubaran Masyumi.

Namun, banyak yang berpendapat Bung Karno menekankan ukhuwah yang lebih luas. Walau berbeda pandangan politik dan kerap berkonflik. Secara pribadi, ia tetap bersahabat dengan tokoh-tokoh republik yang dimaksud.

Bahkan menuruti wasiatnya, saat berpulang ke Rahmatullah jasad Bung Karno disholatkan dan diimami oleh Buya HAMKA.

Demikian juga M. Roem tokoh, Masyumi yang menilai sesuatu secara objektif, tak terkecuali pandangannya kepada Bung Karno.

Misalnya saja pada tahun 1980 Kompas memuat tulisan Rosihan Anwar yang berjudul “Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta.”

Inti tulisan Rosihan ialah bahwa Sukarno melalui apa yang disebut dengan “Surat-surat dari Sukamiskin” pernah meminta ampun kepada pemerintah kolonial Belanda. Sukarno adalah pemimpin yang gampang menyerah tulis Rosihan.

Tak khayal, tulisan Rosihan menimbulkan kegemparan. Dalam kondisi itu, muncul tanggapan M. Roem berjudul “Surat-surat” dari Penjara Sukamiskin di Kompas pada awal tahun 1981.

Opini Roem tampaknya merupakan tanggapan yang paling menghentak Rosihan. Kedua penulis lalu melanjutkan saling saut opini di media massa karena topik ini.

Tulisan Roem yang membantah tuduhan Rosihan menjadi sangat berbobot dan bernilai tinggi. Andai kata M. Roem bukan lawan politik, tentu bukan orang yang dapat digolongkan sebagai pendukung Sukarno.

Perbedaan pendapat di masa lalu, singgungan politik, kekeliruan saat berkuasa, sama sekali tidak melatari Roem kehilangan nalar. Roem menunjukkan kita sebagai suatu bangsa bahwa kebenaran sejarah tidak boleh diselimuti oleh dendam, kebencian, luka lama, atau kepentingan-kepentingan pribadi bahkan politik yang bersifat sesaat.

Polemik Tidak Boleh Menimbulkan Sakit Hati, Apalagi Kebencian

Satu diantara banyak tokoh republik yang juga penting diteladani adalah M. Natsir. Pada masa awal perjuangan kemerdekaan, M. Natsir dan Sukarno kerap bertemu di Bandung dengan Ustadz Ahmad Hassan pentolan Persatuan Islam (Persis).

Sang puritan menjadi guru bagi Natsir dan kawan diskusi Sukarno. Keduanya berbeda pandangan, Sukarno dengan nasionalisme, sementara Natsir dengan islamisme.

Natsir memegang teguh bahwa Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman bagi individu, masyarakat dan negara.

Namun perbedaan kedua tokoh penting republik ini tidak bermuara pada kebencian.

Saat Natsir menulis buku Komt Tot Het Gebed atau ‘Marilah Shalat’, ‘Quran en Evangelie’ dan ‘Muhammad als Profeet’.

Sukarno yang diasingkan di Ende dalam surat kepada A. Hassan memohon agar buku-buku Natsir dikirimkan. Sukarno juga memuji Natsir sebagai mubaligh yang bermutu tinggi.

Sesudah Indonesia merdeka, ketika Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengajukan Natsir menjadi Menteri Penerangan. Presiden Sukarno menyetujui dan menilai Natsir sebagai orang yang tepat.

Demikian juga ketika Mosi Integral Natsir berhasil memulihkan dan terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Presiden Sukarno kemudian mengangkat M. Natsir dari Masyumi sebagai Perdana Menteri dengan alasan mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.

Dalam sebuah wawancara dengan yang dimuat di majalah Editor, 20 Februari 1993, Natsir menuturkan perbedaan dengan Sukarno dalam pendapat mengelola negara.Namun keduanya tidak diselimuti rasa benci.

Contohnya, ketika Sukarno dipenjara di Sukamiskin, yang pertama kali menjenguk adalah Natsir dan kawan-kawan, bukan orang-orang PNI. Natsir berujar, “kami tetap menghormati Bung Karno sebagai pemimpin pergerakan kemerdekaan”.

Menurut Natsir, berpolemik itu harus mengemukakan pikiran secara tegas, dan menyoroti pikiran yang kita hadapi secara tajam, tapi tidak boleh kasar.

Karena kasar itu personal, dan menyebabkan sakit hati. Menurutnya polemik tidak boleh menimbulkan sakit hati apalagi kebencian.

Teladan Natsir juga disampaikan oleh Lukman Hakiem Mantan Sekretaris Pribadi M. Natsir yang menyampaikan, Natsir bisa berbeda pendapat secara tajam dengan siapapun, tapi tidak pernah bermusuhan.

Misalnya hubungan Masyumi dan PKI yang secara ideologis sangat berbeda, bagai minyak dan air.

Didalam forum, Natsir dan Aidit berdebat dengan keras. Tapi setelah debat di dalam forum, mereka berdua biasa ngopi bareng.

Natsir berpandangan yang diperdebatkan dalam forum adalah urusan negara, bukan urusan pribadi. Karakter demikian yang harus diteladani oleh bangsa kita hari ini dan kedepan.

Bahaya Penyalahgunaan Pancasila

Di luar ketidaktepatan isi dari RUU HIP. Tersirat upaya klaim sepihak dari golongan sebagai kelompok yang paling pancasilais. Golongan yang dimaksud bisa saja pemerintah, fraksi di parlemen atau bahkan kelompok masyarakat.

Kita pernah mengalami situasi demikian saat orde baru berkuasa. Dimana pihak yang tidak sejalan dengan penguasa dinilai sebagai pemberontak, makar, anti-pancasila bahkan dituduh komunis.

Masih tak lekang dalam ingatan zaman, ketika Abuya Dimyathi ulama berpengaruh di Banten dituduh orde Suharto yang mengaku paling pancasila sebagai pemberontak, anti-pancasila bahkan dilabeli komunis. Beliau ditangkap pada 14 Maret 1977 dan ditahan penjara Pandeglang.

Abuya kala itu mengkritik intimidasi Golongan Karya (Golkar) kepada masyarakat Pandeglang menjelang Pemilu 1977.

Beliau juga menyampaikan kepada masyarakat bahwa Golkar bukanlah pemerintah. Golkar sama seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah peserta Pemilu 1977.

Karena serangkaian kebelingeran Suharto, pada tanggal 5 Mei 1980 sebanyak 50 tokoh antara lain Bung Hatta, M. Natsir, Kasman Singodimedjo, A.H. Nasution, Hoegeng, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, dan deretan tokoh lainnya menandatangani petisi yang dikenal dengan Petisi-50.

Petisi-50 berisi gugatan terhadap Presiden Suharto lantaran telah menodai serta menyalahgunakan filosofi bangsa sekaligus dasar negara, Pancasila. Bahaya masa lalu tentu harus dihindari untuk kehidupan berbangsa pada hari-hari esok.

Potensi RUU HIP menjadi alat kepentingan penguasa tentu harus diperdalam terus. Terlebih terdapat perubahan-perubahan yang sangat dinamis di parlemen.

Terakhir ini menyusul berbagai penolakan, RUU HIP diusulkan agar kembali sesuai nomenklatur awal menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU-PIP). Sehingga RUU PIP dijadikan khusus sebagai payung hukum yang mengatur Badan Pembinaan Ideologi Pancasila alias BPIP.

Pada titik ini yang patut mendapat perhatian lebih adalah jangan sampai Pancasila dijadikan hanya sebatas proyek sosialisasi, sebagaimana Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan sosialisasi empat pilar.

Pancasila yang sesungguhnya sudah bersemai di kehidupan rakyat tentu harus dikuatkan, sebagai falsafah bangsa dan dasar negara.

Pancasila yang maksud juga tentu tak perlu lagi diperdebatkan, yakni yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Bukan lagi Pancasila milik M. Yamin, Soepomo, Sukarno dan yang lain, tapi milik bangsa Indonesia.

Mari jaga nalar kita bersama dan kawal dengan seksama. (*)

——–

*Penulis adalah Bagian Bangsa Indonesia, Alumni GMNI UNTIRTA (Cabang GMNI Serang)