Anggota BPK RI Isma Yatun Raih Gelar Doktor Dengan Predikat Cumlaude di UNPAD Bandung

Redaksi
18 Des 2020 15:00
3 menit membaca

BANDUNG, LENSAMETRO- Isma Yatun berhasil meraih gelar doktor ilmu akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (18/12/2020).

Perempuan kelahiran Palembang 12 Oktober 1965 ini berhasil meraih predikat sempurna atau cumlaude dengan IPK 4.00 setelah menggelar sidang disertasi yang dilaksanakan di Tempat Ruang Sidang Prodi DIA FEB UNPAD Lt 2, Ruang P.2.2, Jalan Dipati Ukur 35 Bandung.

Anggota BPK RI ini mengupas disertasi dengan judul Pengaruh Pemanfaatan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK,Komitmen Kepala Daerah dan Fungsi Pengawasan DPRD Terhadapa Peningkatan Kinerja Pendidikan Melalui Kualitas Belanja Sektor Pendidikan
(Survei pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dan Sumatera).

Disertasi dengan promotor Prof Dr. Sri Mulyani dan Dr. Srihadi Winarningsih ini , Isma Yatun berhasil secara gamblang memaparkan disertasinya di depan para penguji seperti Prof Dr. HM Wahyudin Zarkasyi, Prof Dr. Bambang Pamungkas dan Dr. Donny Maha Putra.

Isma Yatun mengatakan, pendidikan merupakan salah satu sektor penting dan fundamental bagi suatu negara. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia berkualitas sehingga berdampak pada kesejahteraan negara.

Ia mengungkapkan, nilai anggaran pendidikan dalam APBN maupun APBD terus naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 tercatat anggaran pendidikan pada APBN adalah sebesar Rp416,68 T naik menjadi Rp492,5 T pada tahun 2019.

Melalui peningkatan jumlah anggaran tersebut, Indonesia telah membuat kemajuan besar dalam meningkatkan akses ke pendidikan dalam beberapa dekade terakhir.

Berdasarkan Data BPS (2020), angka partisipasi murni di tingkat pendidikan dasar meningkat dari 96,7 persen pada tahun 2015 menjadi 97,64 persen di 2019.

“Pantaslah kiranya riset dari Rosser (2018) menyatakan bahwa akses terhadap pendidikan bukan lagi merupakan tantangan terbesar bagi Indonesia,” ujar Isma dalam persentasi disertasi sidangnya.

Namun demikian, Isma menutukan fenomena tersebut ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan mutu pendidikan. Bahkan, dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa mutu kualitas pendidikan Indonesia justru menurun.

Paparnya, Afkar dkk. (2018) yang menyatakan bahwa 40 persen siswa pada level pendidikan dasar tidak menguasai pengetahuan dasar.

Di level pendidikan menengah, Rangking PISA oleh OECD tahun 2018 menempatkan Indonesia menduduki peringkat 73 dari 77 negara.

Sedangkan di level pendidikan tinggi, menurut THE World University Rangkings Tahun 2020, hanya 1 perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam peringkat 1000 dunia.

“Berangkat dari Fenomena ini, patutlah kita bertanya mengapa kenaikan anggaran pendidikan tidak mendorong peningkatan kinerja pendidikan?”tandasnya.

Menurut Isma, Indonesia memang telah sukses meningkatkan volume pendidikan dalam jumlah yang masif.
Hal ini tercermin pula dari anggaran pendidikan pada APBD pemerintah daerah di Pulau Jawa dan Sumatera, yang mencapai kurang lebih 70% dari anggaran pendidikan pada APBD seluruh Indonesia.

Namun demikian, sejalan dengan fenomena di level nasional, peningkatan anggaran pendidikan di Pulau Jawa dan Sumatera ini tidak serta merta meningkatkan kinerja pendidikan yang salah satunya digambarkan dalam nilai rata-rata Ujian Nasional (UN) di Pulau Jawa dan Sumatera, yang justru mengalami penurunan dalam kurun tahun 2015 s.d 2019.

Fenomena tersebut, dapat dijelaskan dari penelitian Busatto (2011) yang menyatakan bahwa anggaran yang besar, apabila tidak dibelanjakan secara berkualitas (cost effective way) tidak akan memiliki dampak terhadap kinerja.

‘Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa anggaran yang dapat mempengaruhi kinerja Pendidikan adalah anggaran yang dibelanjakan secara berkualitas,” tandasnya. (joe)