YOGYAKARTA (Lensametro.com) – Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali mencatat sejarah baru. Prof. Nurul Indarti, Sivilokonom, Cand.Merc, Ph.D, resmi diangkat sebagai Guru Besar Bidang Manajemen di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM pada Selasa (27/8/2024) di Balai Senat, Gedung Pusat. Pengukuhan ini menjadi pencapaian monumental bagi Program Studi Manajemen, karena Prof. Nurul Indarti adalah Guru Besar perempuan pertama dari program studi tersebut dan satu-satunya Guru Besar perempuan aktif di FEB UGM saat ini, menggantikan peran yang sebelumnya dipegang oleh Prof. Sri Adiningsih.
Dalam sambutannya, Nurul mengungkapkan rasa syukur atas pencapaiannya ini, terutama karena dia berhasil mencapai posisi ini pada usia 48 tahun. “Bersyukur, saya merasa lega karena ini adalah kewajiban yang tertunda sejak November 2020, jadi saya sudah bisa menyelesaikan kewajiban ini. Ini adalah pertanggungjawaban publik saya atas apa yang saya terima sebagai Guru Besar,” jelas Nurul.
Prof. Nurul juga menyoroti betapa pentingnya dukungan keluarga dalam prosesnya mencapai gelar tersebut. Dia merasa beruntung memiliki keluarga yang selalu mendukung, yang membuat jalannya lebih mudah. “Saya merasa banyak dimudahkan dalam banyak situasi terutama karena keluarga sangat mendukung, infrastruktur sosial kekeluargaan saya ini bagus banget untuk mensupport saya berkarir,” ungkapnya.
Dia berharap pencapaiannya ini dapat memotivasi dosen-dosen lain, terutama perempuan, untuk meraih prestasi yang sama. Menurut Nurul, kunci sukses adalah menghargai proses pencarian ilmu dan tidak mudah menyerah. “Ketika kita berkomitmen untuk bekerja, kita harus mendedikasikan diri kita untuk belajar dan tidak menganggapnya sebagai sebuah beban, sehingga ketika kita melakukan sebuah riset, output yang didapat adalah sesuatu kesukaan kita,” tambahnya.
Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Melihat Kewirausahaan dari Pinggiran: Perspektif Etnis, Perempuan, dan Sosial,” Nurul menyoroti pentingnya memperhatikan kelompok-kelompok terpinggirkan seperti etnis tertentu, perempuan, penderita disabilitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang sering mengalami diskriminasi dalam dunia kewirausahaan. Menurutnya, perspektif kewirausahaan pinggiran ini perlu dimasukkan ke dalam kurikulum kewirausahaan di perguruan tinggi agar lebih inklusif. “Perspektif kewirausahaan pinggiran dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran kewirausahaan perguruan tinggi, yang ini akan melengkapi perspektif kewirausahaan yang selama ini cenderung berfokus pada aspek finansial,” tuturnya. [FAN]