Kekuasaan pemerintahan adalah keajaiban. Hal ini karena nasib hidup begitu banyak orang, diserahkan kepada, hanya segelintir orang, dan bahkan pada puncaknya, segelintir orang itu dipimpin oleh, tentu, hanya satu orang. Maka, setidaknya bagi saya, kekuasaan pemerintahan adalah ketakjuban. Andai mukjizat tidak menjadi hak ekslusif para Nabi, niscaya saya pun akan mengatakan, orang yang memegang kekuasaan pemerintahan sebenarnya juga sedang mendapat mukjizat.
David Hume juga sepertinya merasakan hal yang demikian. Hume lalu bertanya, dengan cara apa keajaiban itu dilakukan? Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Hume, jawabannya adalah dengan kekuatan. Lebih lanjut, Hume mengelaborasi jawaban itu, bahwa kekuatan selalu berada di pihak yang diperintah. Kekuatan yang meliputi hasrat dan sentimen itu kemudian diserahkan kepada penguasa pemerintahan.
Selanjutnya, sebegitu banyaknya orang itu akan selalu bersedia untuk patuh atas segala kebijakan yang dibuat oleh orang yang sedang memegang kekuasaan pemerintahan. Inilah yang saya sebut keajaiban, ketika begitu banyak manusia menyerahkan kekuatan mereka sendiri kepada hanya satu orang dan selanjutnya malah patuh kepada orang yang telah mereka berikan kekuatan.
Penyerahan kekuatan itu dapat dimaknai sebagai disposisi. Namun sayangnya makna disposisi kekuatan itu tidak tunggal. Disposisi kekuatan dalam pemerintahan selalu membawa dua makna. Pertama disposisi sebagaimana pengertian dalam administrasi, yakni semacam instruksi atau perintah dari atasan untuk menindaklanjuti atau menyelesaikan permasalahan tertentu yang menyangkut urusan atau kepentingan atasan. Kedua disposisi sebagaimana diuraikan dalam ilmu kedokteran yakni kecenderungan untuk suatu penyakit yaitu temperamen atau kelainan watak.
Orang yang benar, akan memaknai disposisi kekuatan sebagaimana pengertian pertama. Yakni perintah dari atasan untuk menyelesaikan tugas dan kewajiban. Siapa atasan yang dimaksud? Tentu adalah orang yang memberikan kekuatan yaitu rakyat, karena memang tugas pejabat pemerintahan adalah melayani rakyat. Maka sang tuan adalah rakyat, kekuasaan itu adalah mandat.
Sedangkan orang bodoh, akan memaknai sebagaimana yang kedua. Saat mendapat disposisi kekuatan, ia malah penyakitan, menjadi berwatak buruk dan tempramen. Bisa karena bawaan atau memang karena salah memaknai disposisi kekuatan. Ini relevan dengan argumentasi bahwa kekuasaan bisa berubah menjadi candu.
Pemaknaan disposisi kekuatan dari orang yang menerima disposisi itu, bisa sangat bergantung pada, dengan cara apa ia bisa mendapatkan disposisi kekuatan itu. Bila ia mendapatkan disposisi kekuatan itu dengan cara yang benar, tanpa manipulasi, dan orang yang menyerahkan kekuatan dengan sadar memberikan kekuatan itu, maka kemungkinan ia memaknai disposisi kekuatan sebagaimana pengertian pertama.
Inilah yang oleh Cicero disebut sebagai seorang yang mendapat sumber otoritas secara potentia (alami, informal), yang dalam “kacamata” Max Weber disebut kharimastik. Orang ini juga telah mendapat sumber otoritas secara potestas (formal) karena ia diberi kekuatan untuk sebuah posisi.
Orang yang mendapat otoritas dari sumber potentia adalah orang yang secara alami memang pantas memegang amanah kekuasaan. Maka ia pun pantas diberi sumber kekuatan dari potestas, meski misalnya harus melalui tahapan pemilihan (voting). Orang dengan model seperti ini juga akan dengan cermat dan tepat untuk menggunakan mode kekuasaan seperti yang digambarkan Bertrand de Jouvenel yaitu dux, yakni mengobarkan gairah dan merupakan prinsip gerakan, mengarahkan khalayak untuk dapat bertindak secara kolektif demi kepentingan bersama. Ia juga tahu kapan menggunakan mode rex, untuk menenangkan dan membuat ketertiban.
Sedangkan tipe kedua, adalah orang yang sebenarnya hanya mendapatkan sumber otoritas secara potestas. Ia aslinya tidak pantas mendapatkan sumber kekuatan. Namun karena tindakan manipulatif (politik uang, janji palsu, kampanye hitam, dan lain sebagainya), akhirnya ia mendapat dukungan dari sumber kekuatan.
Ia mendapatkan kekuatan dari sumber potestas karena orang-orang memberikan dukungan kepadanya, meski sebenarnya orang-orang yang memberikan dukungan kekuatan itu secara tidak sadar karena tertipu janji palsu atau tanpa pertimbangan moral, karena politik uang, hingga akhirnya memberikan dukungan. Orang yang hanya mendapatkan dukungan kekuatan dari sumber potestas, apalagi dengan cara yang licik, maka akan sangat berbahaya. Hitler adalah salah satu contohnya.
Model kedua ini tidak akan paham, atau paham tapi dengan sengaja menggunakan mode kekuasaan tidak pada tempat dan waktu yang tepat. Ia menjadi dux saat situasi tenang dan malah melakukan penghasutan sebagai bagian dari operasi cipta kondisi sehingga terjadi konflik di masyarakat.
Model orang seperti ini yang akhirnya menciptakan komunitas masyarakat yang individualistik. Ia juga malah menggunakan mode rex saat situasi membutuhkan ketertiban, misal di saat orang atau sekelompok orang menggunakan kekerasan, ia malah membiarkan, sehingga malah terjadi kekacauan, alih-alih ketertiban.
Oleh karenanya, kekuasaan pemerintahan bukanlah mainan yang diberikan kepada anak-anak. Itu adalah kekuatan yang besar, yang sebagaimana nasihat Paman Ben kepada Peter Parker, si Spiderman, kekuatan yang besar juga membawa tanggung jawab yang besar.
Orang yang menerima kekuatan haruslah sosok yang memiliki gagasan untuk menuntaskan segala permasalahan. Bukan sekadar tanggung jawab semu dengan permintaan maaf saat berbuat kekeliruan atau kesalahan. Memang keliru dan salah adalah dimensi manusiawi. Namun itu harusnya sebisa mungkin dihindari.
Kekuasaan di pemerintahan menyangkut nasib banyak orang. Maka haram hukumnya kekuasaan itu disalahgunakan. Kekuasaan harus dengan ideal dijalankan, apalagi saat mengambil keputusan atau kebijakan. Kekuatan jangan sampai salah diberikan, kepada orang yang miskin pemikiran dan tidak ragu berbohong secara terang-terangan. Apabila kekuatan kekuasaan pemerintahan diberikan kepada salah orang, maka hanya akan menimbulkan kecelakaan.
Kekuasaan adalah senjata. Itu adalah kalimat yang diucapkan karakter Art Hockstader, Mantan Presiden Amerika Serikat, dalam film “The Best Man” garapan Gore Vidal tahun 1964. Hockstader mengatakan itu sebagai nasihat kepada karakter William Russell. “Orang kuatlah yang mengambil senjata lalu menggunakannya,” kata Hockstader kepada Russell yang hendak maju pada Pemilihan Presiden.
Maka apabila kekuasaan adalah senjata, maka otoritas untuk menggunakan senjata itu haruslah berada di tangan orang yang tepat. Bukan berada di tangan bandit yang dikelilingi orang-orang yang munafik. Bila demikian, maka senjata itu akan digunakan untuk melindungi dirinya, bukan rakyat. Malahan senjata itu yang akan digunakan untuk menggembala rakyat agar tunduk dan patuh pada kehendaknya. Tidak. Saya yakin kita semua tidak menginginkan hal yang demikian.
Sebagaimana mukjizat, kekuatan pada kekuasaan pemerintahan harus berada di tangan sosok yang tepat. Figur yang terpilih bukan karena cara-cara yang manipulatif. Melainkan terpilih karena rakyat menghendakinya secara sadar. Bukan karena apolitis yang tanpa moral atau karena diraih dengan cara-cara yang banal. Orang yang tepat memegang kekuasaan adalah orang yang, kata Weber, adalah orang yang bekerja dengan otak, bukan dengan bagian tubuh lain, bukan dengan jiwa. Ini karena kekuasaan pemerintahan adalah pekerjaan politik yang harus dijalankan dengan pendekatan rasional, bukan sekadar insting, apalagi emosi.
Weber dalam esai Politics is a Vocation (1921), membedakan antara kekuasaan (kekuatan otoritas) dengan orang yang memegang kekuasaan itu yang akan kita sebut sebagai politikus. Seorang politikus yang mendapatkan kekuatan kekuasaan, maka berarti memegang kontrol atas kekuatan kekuasaan itu. Oleh karena itulah, kualitas politikus menjadi amat penting. Mengingat peran politikus menjadi sangat krusial, Weber selanjutnya membeberkan konsep politikus yang hidup dari politik dan politikus yang hidup dalam politik.
Weber menganjurkan, politikus tidak seharusnya hidup dari politik. Seseorang tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri. Pemegang kekuatan kekuasaan tidak boleh seorang plutokrat, seorang yang memiliki pengaruh karena kekayaannya. Sebab saat kekuatan kekuasaan berada di tangannya, ia akan menjadikan kekuatan kekuasaan itu sebagai jalan mencari keuntungan. Ia akan langsung mencari remunerasi (imbalan) dari kedudukannya sebagai pejabat politik.
Politikus yang hidup dari politik diklasifikasikan sebagai politikus yang menganggap politik bukan sebagai panggilan. Maka, persoalan akan dianggap rampung pada kepentingan pribadi. Jangan berharap ia memiliki kualitas moral. Bagi politikus model ini, yang dicari adalah, politik (kekuatan kekuasaan) yang mengabdi kepada dirinya. Watak ini biasanya build in pada para plutokrat (menggunakan kekayaan untuk meraih kekuatan kekuasaan untuk menambahkan kekayaan); seorang demagog (penghasut, mengagitasi rakyat dengan janji palsu atau dengan cara menipu), atau seorang otoriter (yang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat kekuasaan).
Sedangkan politikus yang memandang politik sebagai panggilan adalah, sebagaimana tulis Weber, yang memiliki semangat (passion), tanggung jawab (responsibility), dan rasa proporsional (a sense of proportion).
Politikus yang bersemangat akan memiliki komitmen, terutama kepada masyarakat. Semangat yang dimaksud diantaranya bisa dalam wujud, tekad terjun ke dalam politik untuk memerangi kemiskinan atau mengatasi persoalan pengangguran.
Kemudian, politikus bertanggung jawab adalah yang berani mengutarakan janji namun diikuti dengan tanggung jawab mengeksekusi. Jangan percaya dengan jargon “bukan janji, tapi bukti“. Itu adalah narasi sesat. Seorang pemimpin harus memiliki janji dalam arti gagasan. Ia berarti memiliki visi dan rencana serta tahu apa yang akan ia lakukan. Dengan janji, memungkinkan pada suatu hari ia ditagih. Apabila gagal merealisasikan janji, maka bertanggung jawab untuk undur diri.
Politikus yang tidak berani berjanji adalah politikus yang tidak memiliki gagasan atau visi. Ia gagap dengan rencana dan tidak tahu apa yang akan ia perbuat, selain memperkaya diri sendiri, dan pastinya itu tidak layak dijadikan visi. Kalau ia tidak memiliki gagasan, lalu apa yang akan ia lakukan? Apa yang akan ia buktikan? Saat performanya buruk, ia tidak bertanggung jawab karena hanya akan menjawab “saya tidak pernah berjanji”.
Politikus juga harus proporsional, yakni tidak mencampurkan urusan pribadi (res privata) dengan kepentingan publik (res publica). Proporsional juga berarti memiliki skill menghadapi kenyataan yang bisa saja bertentangan dengan apa yang didambakan. Namun ia akan tetap tenang dan penuh pertimbangan. Ia, tahu harus menjadi dux atau rex dalam situasi yang ia hadapi. Ia akan dengan rasional menimbang banyak hal karena memang, kata Weber, politik di buat di kepala (otak/akal/pikiran), bukan di bagian lain dari tubuh atau dari jiwa.
Dalam Islam, politik juga merupakan sebuah panggilan. Islam mengajarkan agar seseorang tidak hidup dari politik, namun hidup dalam politik. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengetengahkan pendapat Imam Al-Ghazali yang mengatakan politik kekuasaan melekat dengan panggilan agama.
Pernyataan Al-Ghazali yang diungkapkan Haedar Nashir itu bisa dilacak dalam kitab Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Bahkan dalam karya monumental Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Ghazali mengatakan, politik adalah sebuah sistem untuk menyejahterakan umat dan menuntunnya kepada jalan yang benar agar selamat di dunia dan akhirat.
Kita memiliki contoh politik ideal yakni Nabi Muhammad SAW. Selain sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga kepala keluarga, guru moral/spiritual, dan juga seorang negarawan atau pemimpin politik. Beliau sukses menyatukan jazirah Arab, mendirikan negara besar yang beribukota di Madinah.
Beliau juga merancang sebuah Konstitusi tertulis untuk pertama kalinya dalam sejarah pada tahun 622 Masehi yang kita kenal dengan Piagam Madinah. Piagam itu berisi 47 klausul yang menjadi dasar negara-bangsa yang berdaulat dan yang memberikan hak dan tanggung jawab yang sama kepada umat Islam, Yahudi, dan kaum pagan di bawah kewarganegaraan yang sama atau bersatu.
Takrif politik juga diungkapkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang menyatakan bahwa politik adalah segala perbuatan yang membawa manusia pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Politik adalah sawasa al-‘amr atau mengurus sesuatu dengan baik, dengan jalan aqrabu ila shalah.
Maka politik sebagai panggilan Islam adalah seruan untuk memerangi kemiskinan, melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Serta membantu kaum-kaum lemah yang tertindas (mustad’afin). Politik adalah sebagaimana kisah heroik Nabi Muhammad SAW memerangi kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan. Atau kisah legendaris Abu Bakar memerdekakan Bilal bin Rabah dari siksaan Umayah.
Maka, kekuatan kekuasaan harus dilandasi teologi pembebasan, meminjam istilah Gustavo Guttirez. Orang-orang yang memberi kekuatan kekuasaan harus dengan sadar dan dengan landasan iman dalam memberikan kekuatan kekuasaan itu. Jangan atas dasar risywah atau suap dalam bentuk politik uang atau pemberian dalam bentuk lain.
Inilah yang akan mendatangkan kerusakan dan akhirnya membuat politik selalu dipersepsikan negatif. Politik yang dijalankan dengan kotor itu yang sampai membuat Muhammad Abduh bersumpah untuk menjauhkan diri dari dunia politik. Sikap mujadid Mesir didasari benturan keras di dunia politik yang dialaminya pada era kekuasaan Khedewi Taufiq pada tahun 1882. Abduh bahkan diasingkan selama enam tahun ke Libanon, pasca pemberontakan Urabi.
Dan orang yang mendapat dukungan kekuatan kekuasaan hendaknya bersikap ihsan, yang menjalankan kekuasaan sebagaimana nasihat Al-Ghazali atau Ibnu Qayyim. Kita sejatinya tidak kekurangan teladan. Tentu ada Nabi Muhammad SAW dan tokoh-tokoh lainnya yang menjalankan mandat kekuatan kekuasaan dengan berlandaskan ajaran Islam, yang menjadikan kekuatan kekuasaan untuk kebaikan bagi banyak orang. Inilah keajaiban kekuatan kekuasaan pemerintahan, bisa mendatangkan kemaslahatan, dan sebaliknya bisa menghalau segala kemafsadatan dan kemudharatan. Insya Allah.
Ditulis oleh: Ahmad Romdoni
Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi