Desa Cangkudu dan Transparansi Semu

doni
30 Apr 2025 15:51
Opini 0 188
5 menit membaca

Oleh: Ahmad Romdoni

Hari ini, tanggal 30 April 2025. Dan tanggal 30 April adalah Hari Keterbukaan Informasi Publik Nasional (KIPN). Sudah seterbuka apa desa kita?

Dalam sebuah siniar Skakmat di chanel Youtube Pandji Pragiwaksono, 16 April 2025, dihadirkan Zainal Arifin Mochtar atau Ucheng. Ahli hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan, pada tahun 90-an, Thailand mengubah Konstitusinya. Konstitusi atau Rancangan Konstitusi tentu menggunakan bahasa nasional, namun untuk menjamin partisipasi publik, perumus Rancangan Konstitusi Thailand menerjemahkan Rancangan itu ke dalam puluhan bahkan ratusan bahasa lokal (daerah) yang dituturkan di seluruh Thailand. Setelah itu, Rancangan Konstitusi yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lokal disebarluaskan ke masyarakat dengan bahasanya masing-masing.

Langkah perumus Konstitusi Thailand itu menuai banyak pujian. Karena rakyat bisa tahu isi konstitusi, bahkan bagi rakyat yang tidak bisa berbahasa nasional Thailand sekali pun. Maka masukan dari rakyat Thailand pun mengalir deras. Masukan itu ditampung tim perumus lagi diakomodir. Maka Konstitusi Thailand tahun 1997 bahkan disebut juga Konstitusi Rakyat.

Konstitusi Thailand itu benar-benar dibuat atas kehendak rakyat, bukan kehendak elit politik yang kadang tidak sesuai dengan kehendak publik. Langkah penerjemahan dan penyebarluasan juga merupakan langkah progresif, apalagi pada masa itu, tahun 1997. Bayangkan betapa sulitnya menyebarluaskan sesuatu. Namun langkah berat itu tetap dilakukan tim perumus untuk menjamin keterlibatan atau partisipasi publik.

Di Thailand, bahkan masih berbentuk rancangan saja, sudah disebarluaskan ke masyarakat, padahal itu tahun 1997. Maka seharusnya, langkah itu ditiru oleh Pemerintah Desa Cangkudu. Sebab, sebuah peraturan desa (perdes) hendaknya memuat kehendak kolektif masyarakat desa. Bukan sekadar kehendak kepala desa yang kadang tidak relevan dengan kehendak dan kebutuhan masyarakat desa.

Kehendak kolektif itu bisa terwujud bahkan bisa terakomodir dalam perdes, apabila ada keterbukaan informasi publik. Seyogyanya, Pemerintah Desa Cangkudu, sejak dalam tahapan rancangan perdes, sudah menyosialisasikan bahkan mengkonsultasikan itu kepada masyarakat. Rancangan Perdes Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP), idealnya disusun berdasarkan kehendak masyarakat desa. Kehendak masyarakat desa itu hanya bisa terserap apabila adanya keterbukaan.

Padahal soal keterbukaan dan konsultasi ke masyarakat, adalah keharusan. Namun yang disesalkan, langkah progesif itu tidak dilakukan. Rancangan Perdes RKP atau Perdes Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) begitu sulit diakses. Masyarakat, tahu-tahu bahwa rancangan itu sudah disahkan. Itu pun tahunya apabila ada salah seorang yang hadir di musyawarah desa (musdes) pengesahan/penetapan memperbaharui status What’s App (WA)-nya. Sudah disahkan pun, tetap amat sulit diakses.

Jadi, dari mana masyarakat Cangkudu tahu, apa yang dirancang untuk dikerjakan? Berapa biayanya per kegiatan? Seperti apa postur rancangan anggaran biaya (RAB)-nya? Ini jelas menyebalkan, sebab tahap penyusunan (rancangan) adalah titik krusial. Andai sejak tahap rancangan, Pemerintah Desa Cangkudu sudah transparan, maka masyarakat akan tahu, apa saja yang akan dikerjakan? Berapa pembiayaan per kegiatan? Dan seperti apa format RAB-nya?

Dengan demikian, masyarakat bisa memberikan masukan, bahkan komplain, apabila kegiatan yang direncanakan akan dilaksanakan tahun depan, tidak sesuai kebutuhan. Atau postur alokasi anggaran yang tidak relevan. Atau RAB yang tidak sesuai kondisi lapangan. Pada koordinat inilah lahir kesadaran politik masyarakat dalam bentuk partisipasi publik. Sehingga format kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kehendak kolektif masyarakat.

Egi Primayoga (2018) menyebutkan, faktor yang menyebabkan maraknya korupsi di desa diantaranya disebabkan minimnya pelibatan dan pemahaman warga akan proses pembangunan desa. Egi melanjutkan, warga dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di desa, tetapi masih terbatas. Tidak banyak warga yang memiliki kemampuan cukup untuk memahami proses pembangunan, termasuk pemahaman anggaran di desa, hak dan kewajiban sebagai warga di desa, dan lainnya.

Faktor lainnya, masih kata Egi, adalah terbatasnya akses warga terhadap informasi, seperti anggaran desa. Sebagai contoh, publikasi hanya seputar total jumlah anggaran yang diterima desa dan total jumlah pengeluaran. Itu pun hanya berbentuk baliho berukuran standar dan hanya dipasang di kantor desa. Tidak dipasang di tempat-tempat tertentu yang mudah diakses masyarakat.

Sedangkan rincian penggunaan tidak dipublikasikan baik secara berkala, bahkan tidak diberikan sama sekali. Terbatas sekali informasi mengenai pelayanan publik di desa. Warga sering kali tidak mendapatkan informasi mengenai seputar akses layanan seperti kesehatan dan pendidikan. Egi menandaskan, tidak tersedianya akses terhadap informasi mengakibatkan warga tidak dapat berpartisipasi aktif sehingga pengawasan terhadap pembangunan desa menjadi minim. Ringkasnya, tidak transparan adalah awal perilaku korup.

Harian Kompas edisi 17 Februari 2025 menuliskan laporan berjudul “Dana Desa Besar, Partisipasi Warga Kecil”. Dalam laporan itu, dituliskan pernyataan peneliti senior SMERU, Muhammad Syukri, yang mengatakan bahwa, warga mungkin saja melihat hasil pembangunan infrastruktur dari dana desa. Namun, tidak banyak yang tahu berapa dana yang diterima desa, aturan penggunaannya, hingga peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Keterbukaan adalah isu krusial karena sangat erat kaitannya dengan pengetahuan warga soal anggaran desa dan pelaksanaan pemerintahan desa juncto pembangunan desa. Ketidaktahuan masyarakat akan berdampak buruk pada tata kelola dan akuntabilitas pemerintah desa. Dan hal itu bisa berdampak pada terhambatnya partisipasi dalam perencanaan dan pengawasan (Andreas Pandiangan : 2025).

Andreas juga mengatakan, masyarakat harus diberi akses seluas-luasnya untuk terlibat, agar masyarakat sadar pentingnya pengawasan. “Ini krusial karena pengawasan utama dana desa sebaiknya dari masyarakat,” kata Andreas, dikutip dari Kompas.id.

Pemerintah Desa Cangkudu, dalam hal transparansi, harus diakui masih sangat mencemaskan. Beberapa waktu lalu, bahkan sempat ada seseorang yang membawa Pemerintah Desa Cangkudu ke sengketa informasi di Komisi Informasi. Terlepas dari apa hasil dari sengketa itu, paling tidak hal itu menunjukkan adanya deviasi transparansi di Pemerintah Desa Cangkudu.

 


Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi