BRJF 2024: Teguh Santosa Dorong Media untuk Ambil Bagian dalam Pembangunan Global South

Redaksi
31 Agu 2024 09:15
3 menit membaca

CHONGQING (Lensametro.com) – Peran media dan wartawan profesional dinilai krusial dalam memperkuat kerangka “Kerjasama Selatan-Selatan” yang bertujuan meningkatkan kapasitas dan kemandirian negara-negara berkembang. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa, dalam seminar “Tanggung Jawab Pers dalam Kerjasama Selatan-Selatan” pada acara Belt and Road Journalists Forum (BRJF) 2024 yang berlangsung di Chongqing, Republik Rakyat China (RRC), Jumat (30/8).

Seminar yang menjadi bagian dari BRJF 2024 ini dihadiri oleh sekitar 100 wartawan dari berbagai negara. Acara tahunan yang diselenggarakan oleh All China Journalist Forum (ACJA) ini telah berlangsung sejak 2017, bertepatan dengan pembentukan Belt and Road Journalist Network (BRJN) oleh 30 pemimpin organisasi wartawan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Teguh, yang juga merupakan dosen hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan bahwa istilah “Selatan” merujuk pada negara-negara yang memiliki sejarah penindasan politik, sosial, dan ekonomi oleh kekuatan kolonial di masa lalu. Menurutnya, istilah ini memiliki makna ideologis yang mencerminkan perjuangan negara-negara baru, terutama di Asia dan Afrika, pasca Perang Dunia Kedua.

“Kerjasama Selatan-Selatan” sendiri mengacu pada hubungan di antara negara-negara yang memiliki pengalaman sejarah serupa di bawah kolonialisme. Teguh menegaskan, jika hubungan sebelumnya dengan kolonialisme menciptakan ketimpangan dan kemiskinan, maka diharapkan kerjasama antara negara-negara yang memiliki kesamaan sejarah ini dapat menjadi solusi signifikan untuk meningkatkan taraf hidup warga negara masing-masing.

Pertukaran dan perdagangan sumber daya, teknologi, dan pengetahuan antara negara-negara Selatan, lanjut Teguh, adalah alternatif yang dapat mendorong pembangunan tanpa bergantung pada negara-negara maju yang sering kali menempatkan negara-negara Selatan dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Indonesia, menurut Teguh, memiliki peranan penting dalam melahirkan konsep “Kerjasama Selatan-Selatan.” Keinginan untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme menjadi tema utama dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. Teguh menambahkan bahwa prinsip “peaceful coexistence” atau “hidup berdampingan secara damai,” yang lahir dari konferensi tersebut, menggarisbawahi pentingnya mendukung satu sama lain daripada mengulangi sejarah kolonialisme.

Teguh juga menegaskan bahwa “Kerjasama Selatan-Selatan” memiliki sejumlah kaidah yang harus dihormati, seperti saling menghormati kedaulatan, membangun kemitraan yang setara, mencapai manfaat yang sama dan berkeadilan, serta tidak melakukan intervensi.

“Jadi, jika kita kembali pada topik tanggung jawab media dan pers dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan, menjadi jelas bahwa tugas kita adalah mendidik anggota organisasi kita, baik perusahaan media maupun jurnalis profesional, agar memiliki perspektif yang positif dan konstruktif terhadap isu besar ini,” ujar Teguh.

Inisiatif dan Model China

Dalam kesempatan tersebut, Teguh juga mengajak seluruh peserta BRJF 2024 untuk mengapresiasi All China Journalist Association (ACJA) yang selama beberapa tahun terakhir telah menjadi platform bagi media dan wartawan dunia untuk berkumpul dan membahas praktik media serta kerja sama antarnegara.

Selain itu, Teguh menyoroti “keajaiban” pembangunan China dalam beberapa dekade terakhir yang dianggapnya sebagai inspirasi. Menurutnya, pembangunan China yang didasarkan pada karakter budaya yang unik dapat menjadi model alternatif bagi negara-negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan pembangunan.

“Kita perlu memanfaatkan platform dan jaringan ini semaksimal mungkin, sehingga pembangunan sejati benar-benar dapat terwujud di Global South,” pungkas Teguh Santosa. [LM]