Terjerat Prostitusi Online di Usia Belia, Kok Bisa?

Redaksi
1 Agu 2024 15:30
3 menit membaca

— Oleh: Erna Ummu Aqilah

Kisah tragis dan memilukan muncul ke permukaan, ketika ribuan anak yang seharusnya masih dalam masa bermain dan belajar justru terseret dalam jeratan prostitusi online. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan sekitar 130.000 transaksi keuangan terkait prostitusi online, dengan nilai mencapai Rp 127 miliar. Lebih mengejutkan lagi, sekitar 24 ribu anak usia 10-18 tahun terlibat dalam bisnis ini.

Fenomena ini tentu saja membuat geram banyak pihak, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menekankan bahwa data yang diungkap oleh PPATK seharusnya menjadi petunjuk bagi penegak hukum untuk mengusut tuntas para pelaku perdagangan anak serta pembelinya.

Namun, mengapa kasus ini bisa begitu masif terjadi di negeri kita? Salah satu penyebab utama adalah cengkeraman kapitalisme sekuler yang berhasil menjauhkan masyarakat dari ajaran agama. Masyarakat menganggap materi sebagai sumber kebahagiaan dan rela menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Gaya hidup hedonisme, kebutuhan pokok yang mahal, dan pendapatan yang tidak mencukupi membuat banyak orang gelap mata, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan.

Tragisnya, anak-anak yang terlibat dalam bisnis haram ini, bahkan ada yang dijual oleh orang tua mereka sendiri. Risiko yang mereka hadapi sangat besar, mulai dari ancaman penyakit menular, kehilangan masa depan, hingga dosa yang luar biasa. Sementara itu, pemerintah hanya berperan sebagai regulator dengan membuat regulasi perlindungan anak yang tidak menyentuh akar permasalahan.

Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya solusi adalah menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Allah telah menciptakan bumi beserta isinya sekaligus aturannya. Syar’iat Islam jika diterapkan mampu menyelesaikan seluruh persoalan, termasuk dalam hal perlindungan anak. Anak-anak wajib mendapatkan hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang dengan bahagia, dan hal ini bisa diwujudkan melalui keluarga yang harmonis, lingkungan yang aman, serta negara yang menjamin itu semua.

Negara dalam Islam berperan sebagai pengurus rakyatnya, wajib memberikan perlindungan dan keamanan, termasuk pada anak-anak. Dengan menerapkan pendidikan berbasis akidah, kita bisa melahirkan generasi yang cerdas, tangguh, cakap, kreatif, sekaligus berakhlak mulia. Negara juga harus mengatur media agar berfungsi dengan baik dan memberikan sanksi tegas kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran.

Selain itu, memastikan setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang cukup agar mampu memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga sangatlah penting. Jika kebutuhan tercukupi dengan baik, maka tidak perlu melibatkan ibu dalam mencari nafkah sehingga ia dapat fokus pada peran pentingnya sebagai ibu dan pendidik di rumah.

Peran lingkungan juga tak kalah penting. Kepedulian antar sesama harus ditegakkan melalui amal makruf nahi mungkar. Dengan demikian, hal-hal yang tidak baik dapat segera diketahui dan diatasi.

Selama kita masih menjauhkan agama dari kehidupan, kerusakan demi kerusakan akan terus terjadi, termasuk kerusakan generasi. Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali pada ajaran agama untuk mewujudkan keselamatan dan kenyamanan hidup. Wallahu alam bishshawwab.

—Tigaraksa, Tangerang (01/08/24)