Polisi untuk Negara atau Bangsa?

Redaksi Lensametro
10 Okt 2025 09:11
4 menit membaca
Oleh: Mohammad Nasir
⁃ Anggota Forum Wartawan Kebangsaan
⁃ Mantan Wartawan Harian Kompas, meliput di Markas Besar Polri awal tahun 1990-an.
KEPOLISIAN Negara Republik Indonesia (Polri) kini berusia 79 tahun pada 1 Juli 2025. Sejak kelahirannya, polisi kita diberi nama “Kepolisian Negara”. Ini jelas bahwa Polri adalah alat negara.
Pengalaman panjang dalam melayani keamanan, serta uji coba berbagai model tata kelola keamanan, baik keamanan negara (state security) maupun keamanan manusia (human security) telah dilalui.
Namun pelayanan Polri, masih dikeluhkan. Ada selintas pertanyaan untuk kepolisian. Ke arah mana kah prioritas layanan keamanan Polri sekarang? Apakah ke arah keamanan negara dan aset-asetnya atau keamanan bangsa (manusia)?
Ini yang masih diperlukan kejelasan sehingga polisi tidak hanya terkesan mengamankan negara dan aset-asetnya, tetapi juga memberi rasa aman pada bangsa (manusia).
Presiden Prabowo Subianto telah membentuk komite reformasi Polri. Begitu pula Polri dibawah pimpinan Kepala Polri Jenderal Pol Drs. Listyo Sigit Prabowo juga sedang menata Polri dari dalam. Hasil reformasi Polri akan seperti apa? Ini yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) yang dipimpin oleh Koordinator Nasional Raja Parlindungan Pane, dalam diskusi seputar reformasi Polri, Rabu (8/10/2025) mendorong segera dilakukan reformasi di tubuh Polri.
Raja Pane mendesak reformasi Polri harus mengembalikan ruh kepolisian sebagai pelindung rakyat, bukan penguasa. Polisi seharusnya hadir sebagai penegak hukum yang humanis dan menjadi sandaran terakhir masyarakat, bukan sumber ketakutan.
“Reformasi Polri yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sangat tepat. Sudah lebih dari 20 tahun sejak UU Polri lahir, kini saatnya diperbarui sesuai perkembangan zaman,” ujar Koordinator FWK, Raja Parlindungan Pane.
Polri telah lama berkiprah untuk negeri dan bangsa sejak zaman pra kemerdekaan, setelah kemerdekaan, dan hingga era digital saat ini yang ditandai dengan maraknya cyber crime (kejahatan yang memanfaatkan siber atau online).
Berbagai sistem pengamanan sudah dilakukan, terlebih untuk  kepentingan negara. Untuk kepentingan individu, masyarakat, masih belum menyeluruh?
Perjalanan panjang Polri belum memungkinkan menjamin penerapan keamanan komprehensif. Berbagai kendala masih menghadang.
Kasus yang sempat disorot belakangan ini antara lain, rapuhnya keamanan manusia, seperti yang terjadi  di Kampung Citangkil, Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Jumat, 27 Juni 2025.
Rumah singgah atau villa di kampung tersebut menjadi sasaran luapan amukan massa. Padahal polisi setempat sebelumnya sudah hadir untuk mengantisipasi ancaman perusakan rumah singgah yang dicurigai menjadi tempat ibadah itu.
Tetapi kejadian kekerasan di kampung tersebut tetap berlangsung. Polisi setempat tampaknya perlu memaksimalkan ketegasan dan kecekatannya dalam memberi perlindungan warga.
Saat perusakan terjadi rumah tersebut sedang digunakan untuk kegiatan retreat pelajar. Pagi itu, Jumat, 27 Juni 2025, retreat yang diikuti pelajar berusia antara 10 hingga 14 tahun, baru saja mulai. Ada pembukaan, dan bernyanyi (Kompas.com, 1/7/2025).
Kejadian ini memberi pelajaran buruk berupa kekerasan bagi anak-anak pelajar yang sedang retreat dan anak warga kampung yang turut menyaksikan. Pengalaman buruk akan menancap dalam alam bawah sadar mereka.
Kenapa sampai terjadi? Itu lah problem keamanan manusia di negeri ini yang masih “on the way”, masih dalam perjalanan menuju pelayanan maksimal.
Keamanan manusia cakupannya  bukan hanya keamanan terhadap fisik, tetapi juga hak asasi manusia, keamanan terhadap kebebasan berpendapat.
“Di masa kini, keamanan tidak lagi sebatas menjadikan ‘negara’ sebagai obyek yang harus dijaga, tetapi juga harus menjaga dan melindungi rasa aman manusia dan kemanusiaan itu sendiri,” tulis Al Araf  dan Evitarossi Budiawan dalam buku Keamanan Manusia, Konsepsi, Implementasi, dan Perbandingan Negara Lain, IMPARSIAL, Indonesian Human Right Monitor,  2023.
Menurut Laporan Pembangunan Manusia Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) tahun 1994 bahwa keamanan manusia memiliki dua aspek utama.
Pertama, keamanan dari ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit, dan penindasan. Kedua, perlindungan dari gangguan yang tiba-tiba dan menyakitkan dalam pola kehidupan sehari-hari.
Gagasan dan pemikiran tentang keamanan manusia yang disampaikan oleh Mahbub Al Haq dalam laporan UNDP, saat itu selama beberapa tahun sempat menjadi wacana di mana-mana, termasuk di kampus-kampus.
Menurut Mahbub Al Haq, ada dua dimensi kunci dalam keamanan manusia yang harus diperhatikan. Pertama. kebebasan dari ketakutan, dan kedua kebebasan dari kemelaratan (terjemahan bebas dari freedom of want).
Lebih rinci lagi disebutkan, keamanan manusia dikelompokkan dalam tujuh kategori, yakni keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan pribadi, keamanan masyarakat, dan keamanan politik.
“Keamanan politik atau sering juga disebut sebagai perlindungan dari represi negara diidentifikasi sebagai salah satu aspek terpenting dari human security. Keamanan politik mencakup perlindungan terhadap individu dari represi negara seperti kebebasan pers dan kebebasan berpendapat,” tulis Al Araf dan Evitarossi dalam buku tersebut.
Human security yang pernah diangkat UNDP tahun 1990 sempat menjadi isu keamanan manusia dunia, kini meredup.
Perhatian lebih berat  pada keamanan nasional yang lebih luas, menjaga dan melindungi kepentingan dan aset-aset negara.
Ketika prioritas keamanan manusia belum maksimal, masyarakat harus pandai menjaga keamanan sendiri, pengamanan pribadi. Tidak boleh lengah.
Sistem keamanan keliling (Siskamling) harus dihidupkan. Hansip digalakkan. Pam Swakarsa diaktifkan.
Di sini masyarakat tidak boleh kalah dengan penjahat. Bagaimana caranya? Berbagai simulasi perlu dicoba. Beladiri praktis perlu dikuasai, daripada dibuat susah oleh penjahat. [ ]