JAKARTA (Lensametro.com) – Upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai swasembada pangan dalam waktu dekat menghadapi tantangan berat. Di tengah lonjakan penduduk 1,1% per tahun dan penurunan produksi pangan sebesar 1,1% pada periode 2019–2024, Indonesia juga masih bergantung pada impor beras sebesar 3,1 juta ton pada 2023.
Deputi Bidang Tata Usaha dan Distribusi Kementerian Koordinator Pangan, Tatang Yuliono, mengungkapkan berbagai tantangan ini dalam seminar internasional bertema “Improving Indonesia-Korea Relationship in Prabowo Administration from Food Sovereignty to Good Neighbour” yang digelar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) di Dewan Pers, Jakarta, Selasa (26/11).
“Tantangan lain yang dihadapi adalah sampah makanan (food waste). Berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) 2021, Indonesia menghasilkan 20,93 juta ton sampah makanan per tahun, menempati posisi keempat terbesar di dunia,” ujar Tatang.
Strategi Pemerintah Hadapi Tantangan
Menyadari situasi ini, Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya swasembada energi, air, dan pangan dalam empat tahun mendatang. Untuk itu, pemerintah membentuk Kementerian Koordinator Bidang Pangan yang mengoordinasikan empat kementerian: Pertanian, Kehutanan, Lingkungan Hidup, serta Kelautan dan Perikanan. Selain itu, dua badan, yaitu Badan Pangan Nasional dan Badan Gizi Nasional, juga dilibatkan.
Target yang dicanangkan pemerintah antara lain meningkatkan indeks ketahanan pangan dari 76,20 pada 2024 menjadi 80,72 pada 2029, menurunkan prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan dari 7,21% menjadi 4,41%, serta menggenjot produksi pangan untuk mengurangi impor beras, jagung, kedelai, dan gula.
Kolaborasi dengan Korea Selatan
Wakil Duta Besar Korea Selatan, Park Soo-Deok, menyampaikan kesiapan negaranya untuk mendukung Indonesia dalam mencapai swasembada pangan. “Hubungan kedua negara telah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir. Volume perdagangan meningkat dari kurang dari 10 miliar dolar AS menjadi lebih dari 20 miliar dolar AS tahun lalu,” katanya.
Sementara itu, Hyungjun Noh dari Korea Program for International Cooperation in Agricultural (KOPIA) menawarkan bantuan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian Indonesia. Ia menyoroti berbagai persoalan seperti penurunan volume pupuk hingga 50%, akses petani terhadap Kartu Tani yang belum maksimal, dan kerusakan irigasi yang melampaui 50%.
“Kami optimistis melalui kerja sama KOPIA, produktivitas pertanian Indonesia dapat meningkat, termasuk membantu program cetak sawah seluas 3 juta hektar,” ujar Noh.
Harapan Jangka Panjang
Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Vivi Yulaswati, menambahkan bahwa Indonesia memasang target sektor pertanian yang tangguh dan inovatif pada 2045. “Pertanian masa depan diharapkan menyediakan pola makan sehat, pekerjaan layak, serta mendukung keberlanjutan lingkungan,” jelasnya.
Vivi percaya kolaborasi dengan Korea Selatan akan mempercepat langkah menuju swasembada pangan, sekaligus memperkuat tata kelola sistem pangan di tingkat lokal dan regional. [LM]