Opini Erna Ummu Aqilah
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi. Setiap orang bercita-cita memiliki rumah yang nyaman, keluarga sehat dan bahagia. Namun tidak semua orang mampu mewujudkannya.
Saat ini, sebagian masyarakat sedang mengalami berbagai macam kesulitan hidup. Mahalnya berbagai komoditas penting seperti ,harga bahan kebutuhan pokok, BBM, biaya kesehatan, pendidikan, keamanan bahkan hunian. Menyangkut hampir seluruh kebutuhan pokok, baik sandang, papan, maupun pangan sulit terpenuhi dengan baik. Yang lebih mengagetkan, justru pemerintah saat ini mengambil kebijakan dengan menaikkan berbagai pajak.
Pemerintah melakukan penyesuaian tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 11 persen pada tahun 2022, yang berlaku saat ini yakni 2,2 persen. Berlaku mulai tahun depan 1Januari 2025, dinaikin 12 persen menjadi 2,4 persen.
Sementara terkait PPN pembangunan rumah sendiri, termasuk besarannya telah ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan, Nomor 61/PMK.30/2022, tentang PPN kegiatan membangun rumah sendiri.
Pada pasal 2 ayat 2 bahwa, PPN tertuang bagi orang pribadi atau badan melakukan kegiatan membangun sendiri. Kemudian dalam pasal 3 ayat 2, diatur besaran pajak membangun rumah sendiri, merupakan hasil perkalian 20 persen PPN. Sehingga pajak membangun rumah sendiri, saat PPN masih 11 persen adalah 2,2 persen, tahun depan menjadi 12 persen dan itu berarti naik menjadi 2,4 persen, kriteria rumah memiliki luas 200 meter persegi atau lebih.
Dengan adanya fakta di atas, membuktikan bahwa pemerintah abai terhadap kebutuhan mendasar bagi rakyatnya. Sehingga, keinginan masyarakat untuk bisa memiliki hunian semakin sulit diwujudkan.
Sistem kapitalisme saat ini, menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan bagi negara. Kenaikan pajak harus dilakukan meskipun kondisi rakyat dalam keadaan sulit. Akibatnya rakyat yang jadi korbannya.
Padahal banyak rakyat yang menganggur, jangankan untuk membayar pajak, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka kesulitan. Seolah-olah rakyat dipaksa mencari solusi sendiri-sendiri, tanpa adanya peran pemerintah untuk menghilangkan beban rakyat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Justru malah dipaksa membayar pajak yang nyata-nyata semakin menambah beban.
Sikap sebaliknya justru ditunjukkan kepada para kapitalis, negara hadir sebagai pendukung utama proyek bisnis. Terbukti pemerintah seringkali memberikan hak istimewa pada para pengusaha, seperti adanya pembebasan pajak.
Berbeda dengan aturan Islam, dalam Islam, negara merupakan pengurus bagi rakyatnya. Karenanya, wajib bertanggung jawab terhadap kesejahteraannya. Memastikan setiap dari individu rakyat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan baik.
Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, sehingga mampu berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Negara wajib menyediakan berbagai layanan masyarakat dengan mudah dan murah bahkan gratis. Semua dibiayai oleh baitul mall, yang bersumber dari fa’i, khoroj, kepemilikan umum dan zakat. Karenanya negara mengharamkan Sumber Daya Alam, dikelola atau dikuasai oleh swasta maupun pribadi.
Negara akan mengurus segala kepemilikan umum seperti tambang dan lainnya, untuk dikelola demi kesejahteraan rakyatnya.
Juga mengambil alih kepemilikan tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya lebih dari tiga tahun, untuk diberikan kepada siapa saja yang mampu mengurusnya. Sehingga tidak ada lahan yang terlantar bahkan mati.
Dalam Islam dilarang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Negara hanya akan memungut pajak pada saat darurat saja, itu pun hanya pada masyarakat yang kaya. Pemungutan pajak sifatnya sementara saja, ketika negara sudah stabil maka pemungutan dihentikan.
Negara mengontrol harga-harga kebutuhan pokok, dengan melarang keras bentuk kecurangan seperti, penimbunan, kartel, dan lainnya dengan memberikan sanki tegas kepada para pelaku.
Karenanya rakyat dapat memenuhi seluruh kebutuhan primernya, baik sandang, pangan maupun papan. Sebab negara benar-benar hadir dan bertindak sebagai pengurus bagi rakyatnya, bukan sebaliknya membebani rakyat dengan kenaikan pajak.
Wallahu alam bishshawwab.