oleh: Ahmad Romdoni
UU Desa telah memberikan keleluasaan dan kewenangan yang besar kepada desa. Maka, tidak berlebihan bila muncul anggapan bahwa UU Desa adalah magnum opus karena melahirkan kemerdekaan desa. Kelahiran UU Desa bahkan dirayakan karena dianggap sebagai kemengan besar bagi Presiden, Menteri Dalam Negeri beserta jajarannya, DPR, DPD, para kepala desa dan perangkat desa, hingga para aktivis pejuang desa (Sutoro Eko : 2014).
Dalam suatu struktur, lazimnya ada satu orang yang ditunjuk atau dipilih untuk memimpin. Ada banyak sebutan untuk orang yang memimpin itu, tergantung bentuk organisasi yang didirikan, yaitu ketua, koordinator, dan kepala. Sebutan terakhir memiliki kewenangan besar karena sifat kepala dalam sebuah struktur berarti memiliki otoritas (kekuasaan) tunggal, bawahan, dan kekuasannya mengikat.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah dan berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional. Maka dengan dipimpin oleh seorang dengan nomenklatur jabatan kepala, yakni kepala desa (kades).
Merujuk pada UU Desa yang memberi keleluasaan dan kewenangan besar, maka keleluasaan dan kewenangan besar juga diberikan kepada kepala desa. Dalam konteks kemerdekaan desa, kepala desa memiliki kewenangan yang besar. Diantara kewenangan itu adalah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa; memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa dan Aset Desa; serta menetapkan Peraturan Desa.
Luasnya kewenangan kepala desa mestinya diimbangi dengan kesadaran politik dari masyarakat desa. Sebab bila tidak, kepala desa akan berubah menjadi kepala despot, yaitu pemimpin yang merasa dirinya tunggal sehingga berkehendak sesuai selera, bahkan melampaui kewenangannya. Singkatnya, kewenangan yang besar yang tidak diimbangi kesadaran politik yang optimal, hanya akan melahirkan abuse of power.
Kita tahu, dalam banyak praktik birokrasi lokal, kebijakan kepala desa, apalagi yang dituangkan ke dalam surat resmi bisa lebih tajam dari pedang. Ketika kehendak diselubung kop surat, stempel, dan tanda tangan, maka itu sudah menjadi firman, tak boleh dibangkang.
Tidak heran di beberapa desa, kepala desa sudah mengambilalih posisi tuhan. Ia merasa berhak berbuat dan memutuskan apa pun. Ironisnya, segala kebijakan kepala desa harus selalu dianggap benar. Maha benar kepala desa dengan segala firmannya.
Ini bukan tuduhan berlebihan. Saya jelaskan dulu makna kalimat “Maha benar kepala desa dengan segala firmannya”. Di beberapa desa, kepala desa begitu berkuasa, layaknya seorang raja. Nyaris tak ada satu pun yang berani mempertanyakan apalagi melawan perintahnya. Kepala desa menjadikan dirinya subjek untuk menentukan benar dan salah.
Sementara “firman” merupakan kata yang diserap dari Bahasa Persia, padanan pada Bahasa Inonesia adalah “sabda”, bila dalam Bahasa Arab dikenal “kalam”, artinya perkataan atau perintah. Sedangkan akhiran “-nya” merupakan pronomina untuk menyatakan suatu hal atau benda yang sudah diketahui secara spesifik berdasarkan konteks pembicaraan. Saya menggunakan huruf “n kecil” yatu “-nya” bukan “-Nya” untuk menunjukkan bahwa konteks pembahasan adalah profan, bukan sakral.
Namun, dimensi profan kadang oleh kepala desa dipindai menjadi transenden, yaitu sesuatu yang melampaui batas-batas pengalaman dan pemahaman biasa. Hal ini terjadi saat kepala desa, sadar atau tidak, merasa dirinya bagian dari tuhan.
Dalam situsi seperti itu, Fajlurrahman Jurdi dalam tulisan berjudul Kekuasaan “Yang Maha” Benar, mengetengahkan konsep mitologi Jawa, di mana si penguasa menyebut dirinya “ingsun”. Sedangkan “ingsun” adalah pengganti kata “aku” yang semula profan menjadi transenden. “Ingsun” adalah hakikat tuhan dalam realitas, sebab ia punya “martabat”. Dengan “martabat” itu, sang “ingsun” adalah “maha manusia”, yakni manusia yang bisa melakukan apa yang dilakukan oleh tuhan. Pada konteks ini, ia menjadi “maha benar”.
Ingsun selalu benar, istilahnya “The king can do no wrong” alias raja tak pernah salah atau tak dapat dipersalahkan. Kepala desa secara langsung atau secara insinuatif menempatkan dirinya pada singgasana itu: tak pernah salah. Aturan konyol itu biasanya berbunyi: (1) kepala desa tidak pernah salah; (2) jika kepala desa salah, kembali ke pasal 1.
Dalam psikologi, orang yang selalu merasa benar adalah orang yang mengalami gejala kognitif bias. Gejala ini membuat seseorang hanya menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan atau pendapatnya, dan secara otomatis menolak informasi yang bertentangan.
Beberapa penyebabnya adalah kekurangan empati, yakni ketidakmampuan menempatkan diri pada posisi atau perasaan orang lain. Kemudian kecemasan. Ya, orang yang merasa selalu benar pada hakikatnya adalah orang yang cemas. Dalam konteks kepemimpinan, ia cemas kekuasaannya runtuh lalu hilang. Dan penyebab lain yang berbahaya adalah faktor penguatan sosial, dimana adanya validasi berupa dukungan palsu dari orang sekeliling sehingga membuatnya selalu merasa benar.
Penguasa yang merasa selalu benar mengidap watak superior sehingga acap menolak kritik atau pendapat. Penguasa model ini juga memiliki sifat narsistik atau kepribadian perfeksionis sehingga merasa perlu selalu benar untuk mempertahankan status atau kendali. Atau bisa juga penguasa semacam ini adalah penguasa yang memiliki karakter megalomania, yaitu perasaan bahwa dirinya hebat dan agung. Penguasa ini merasa sedang maju, padahal bergerak mundur. Inilah yang kata Ekonom Amerika Peter Bernstein sebagai momen paling beresiko, yaitu saat selalu merasa benar.
Tanda-tanda pemimpin yang selalu merasa benar diantaranya: menolak kritik dan masukan, tidak terbuka, bersikap otoriter, cenderung mendikte, tidak memberikan ruang bagi pendapat atau keputusan alternatif, tidak mau mengakui kesalahan, menilai orang lain dengan subjektif, sering menganggap pendapat dan cara kerja orang lain salah, berusaha mengendalikan segalanya, dan selalu ingin memiliki kendali penuh.
Belakangan kita mendengar berita kelakuan kepala desa yang bikin geleng kepala. Mulai dari tuntutan perpanjangan masa jabatan, praktik pungli, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hingga tindakan arogan lain yang dengan vulgar dan tanpa ragu, apalagi malu, ditunjukkan kepala desa.
Ada kepala desa yang serta-merta memecat ketua RT dan ketua RW hanya karena anaknya kalah dalam pileg. Ada kepala desa yang minta THR, ada yang mengamuk, ada yang bergaya hedon, ada yang menjadi mandor pagar laut, ada yang mengerahkan preman untuk mengintimidasi warga, dan lain sebagainya.
Dan yang paling sering, adalah tindakan kepala desa melakukan nepotisme dengan menjadikan anak atau sanak familinya pada posisi-posisi strategis di desa. Juga tindakan kolusi dengan pemborong atau dengan perusahaan yang masuk ke desa. Persetan rakyat kewalahan yang penting kantung terisi cuan. Dan, tindakan korupsi, ya jangan ditanga lagi!
Bukan hal aneh apabila kepala desa menjadikan anaknya, adiknya, keponakannya, kerabatnya, atau orang dekatnya mengisi pos jabatan di desa. Bahkan bila kerabatnya itu bukan warga desa setempat, maka akan dinaturalisasi dengan membuatkan KTP dimana si kepala desa memimpin. Maka kerabatnya itu pun sah menjadi “warga negara” desa setempat, sehingga berhak menjadi perangkat desa.
Kepala desa juga begitu sering membuat kebijakan makruh. Misal dengan menjadikan orang di luar desa yang dipimpinnya mengisi pekerjaan tertentu di kantor desa. Ini jelas deviasi pemikiran, sebab idealnya kepala desa mempercayakan pekerjaan itu kepada warganya, selain sebagai upaya membuka ruang juga untuk mengurangi pengangguran. Kepala Desa juga kerap mengalokasikan uang desa untuk kegiatan yang tidak membawa manfaat buat masyarakat, misal plesiran dengan modus bimbingan teknis (bimtek) atau studi banding.
Bukan hal mengejutkan bila kepala desa membangun kongsi jahat dengan pengusaha yang berproduksi tanpa izin. Saat perusahaan menyebabkan pencemaran, maka si kepala desa tutup mata dan tutup telinga. Tak sulit mencari berita seorang kepala desa menjadi beking pengusaha.
Kebijakan absurd kepala desa melenggang tanpa lawan. Masyarakat desa, entah tak peduli, tak tahu, atau takut, hanya bisa bungkam. Para cendekiawan desa, tak berbuat apa-apa. Para perangkat desa pasti ikut saja sabda sang kepala desa, toh mereka bagian dari lingkarannya. Atau BPD, ini malah mengalami disfungsi. Lembaga perwakilan masyarakat ini malah hanya jadi alat kepala desa.
Titah kepala desa seperti titah raja. Kehendak kepala desa sudah dianggap sabdo pandito ratu yang artinya: ucapan pemimpin itu seperti ucapan seorang guru bijaksana dan raja. Perintah kepala desa adalah dogma, mutlak benar tak ada ruang membantah. Siapa pun yang berani melawan, akan diusir dari lingkaran. Kepala desa tidak menjalankan fungsi pedagog. Dia malah aktif jadi demagog.
UU Desa mengamanatkan bahwa forum pengambilan keputusan tertinggi adalah musyawarah desa (Musdes). Tapi oleh kepala desa, musdes dijadikan tak lebih dari sekadar arisan keluarga. Orang-orang yang hadir, atau lebih tepatnya yang dihadrikan, adalah orang-orang yang itu-itu saja, yang masih berkelindan dengan kepala desa. Saat musdes, tak ada perdebatan atau diskusi mendalam. Hanya menyimak sambutan dari kepala desa, setelahnya langsung tanda tangan berita acara.
Soal keterbukaan? Sudahlah jangan dipertanyakan! Semua informasi, apalagi yang berkaitan dengan keuangan, ditutup rapat alias disembunyikan. Padahal masyarakat memiliki hak untuk tahu. Namun karena desain APBDes adalah tipu-tipu, maka masyarakat tidak diberi pintu. BPD yang memiliki fungsi pengawasan terkulai pingsan karena kekenyangan setelah diajak bercanda ria di rumah makan.
Dan di tengah hingar-bingar kemerdekaan desa, ada bahaya laten yaitu kelakukan bejad kepala desa. Banyak kepala desa yang memimpin dengan gaya totem pro parte, yaitu seolah-olah kebiajkan yang ia buat untuk semua padahal untuk sebagian saja, yakni untuk dia dan kroninya. Kepala desa model inilah yang sebenarnya kepala despot.
Dominasi politik kepala desa amat kokoh. Itu karena sokongan regulasi UU Desa yang tidak diimbangi nalar kritis masyarakat desa. Pemerintah daerah, dinas desa, camat, dan BPD malah ikut-ikutan memperkuat watak jumud kepala desa. Jadilah kepala desa itu berhala, yang harus dituruti dan disembah tanpa banyak tanya.
Kepala desa megalomania alias penguasa yang selalu merasa maha benar hanya akan menghambat kemajuan, memicu konflik, dan melahirkan ketidakadilan. Masyarakat desa akan menjadi korban kebusukan penguasa megalomania ini. Uang desa akan dikuras hanya untu kepentingannya. Dan persoalan masyarakat desa, tak akan pernah diperhatikannya.
Maka kesadaran politik masyarakat desa adalah keharusan agar kemerdekaan desa tidak menjadi bumerang. Jangan sampai kemederkaan desa hanya kemerdekaan untuk sekelompok elit desa, tak dinikmati oleh seluruh masyarakat desa. Inilah kemerdekaan yang dikecam keras oleh Tan Malaka. Kemerdekaan desa harus 100 persen agar masyarakat desa makmur dan sejahtera. Agar kemerdekaan desa bukan sekadar jargon semata yang hanya difungsikan mengisi kantung kepala desa dan keluarganya!
Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi