Setan-Setan Desa

doni
18 Apr 2025 17:21
Opini 0 103
8 menit membaca

Oleh: Ahmad Romdoni

Di sebuah tempat yang tenang dan sejuk, di sebuah lembah di antara Gunung Gede dan Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, DN Aidit memimpin kelompok riset yang berjumlah sekitar 40 orang. Riset dilaksanakan selama 7 minggu sejak tanggal 2 Februari sampai dengan 23 Maret 1964.

Riset itu dilakukan untuk mengetahui secara pasti keadaan masyarakat desa, wabil khusus petani, di pedesaan di Jawa Barat. Beberapa desa di beberapa kecamatan di Jawa Barat diteliti, salah satunya Desa Legok, Kabupaten Tangerang (yang dulu masih masuk wilayah Jawa Barat).

Dari hasil riset itu, diperoleh gambaran tentang rakyat di desa yang mengalami penindasan oleh 7 kategori kelas penindas yaitu (1) tuan tanah jahat, (2) tukang ijon, (3) lintah darat, (4) kapitalis birokrat (kabir/pegawai pemerintahan yang korup), (5) tengkulak jahat, (6) bandit desa, dan (7) penguasa jahat yang membela kaum penindas. Inilah yang kemudian disebut “7 Setan Desa”.

Tulisan ini mencoba membahas hasil riset, lalu mencoba menelaah relevansinya dengan kondisi desa dan masyarakat desa hari ini. Bila dicermati, setan-setan desa yang menghisap keringat petani (masyarakat desa) masih eksis hingga saat ini. Meski, jumlah, peran, dan wajah setan-setan desa itu sudah bertransformasi.

Setan-setan desa saat ini adalah perangkat desa (prades) jahat, ketua RW jahat, ketua RT jahat, karang taruna jahat, lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) jahat, bank emok, bandit desa, kapitalis atau pabrik jahat, Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) jahat, dan kepala desa (kades) jahat.

Setan desa kapitalis birokrat hari ini sudah menggunakan seragam perangkat desa. Ini para kapitalis birokrat yang kerjanya melakukan korupsi dan pungutan liar (pungli). Setan kapitalis birokrat ini dipimpin penguasa jahat yaitu kepala desa. Oleh kepala desa kemudian orkestrasi korupsi, kolusi, dan nepotisme dipimpin. Kolaborasi setan kapitalis birokrat dan penguasa jahat menghasilkan kerugian uang negara dan pelayanan masyarakat yang amburadul.

Kemudian ketua rukun warga (RW) jahat. Di kampung-kampung, ketua RW lazim juga dipanggil Jaro, meski Jaro secara aturan sebenarnya nomenklatur jabatan untuk kepala dusun (Kadus). Jaro atau ketua RW jahat adalah setan penindas masyarakat. Dia merasa dirinya pejabat negara atau pejabat pemerintah, padahal bukan.

Ketua RW kemudian merasa berhak melakukan tindakan apa pun atas nama jabatan ketua RW. Padahal kadang, dia sendiri tidak paham aturan yang mengatur RW, tak mengerti tugas pokok dan fungsi, serta tak tahu filosofi juncto sejarah berdirinya RW. Kadang, dia juga merasa sebagai atasan alias bos ketua RT. Kalau anda ingin lihat watak menyebalkan ketua RW, lihat saja tindak-tanduk Ketua RW di serial “Para Pencari Tuhan“.

Ketua RW juga kerap menjadi dalang praktik haram pungutan liar (pungli). Dengan dalih keamanan atau koordinasi, ketua RW kadang mengganggu pelaku usaha dengan meminta sejumlah uang dengan dalih tadi: keamanan dan koordinasi. Bahkan, saat ada warga yang sedang membangun usaha, ketua RW malah menjadi konduktor yang memimpin ritme praktik pungli.

Kelakuan memalukan ketua RW justru diikuti ketua RT. Problemnya, ketua RT justru memposisikan diri sebagai anak buah ketua RT. Padahal tidak ada hubungan pimpinan dan anak buah antara ketua RW dan ketua RT. RW bukan superordinat, dan RT bukan subordinat. Keduanya sama-sama merupakan lembaga kemasyarakatan desa (LKD). Keduanya sejajar, hanya wilayah tugas dan tupoksi yang berbeda.

Kolaborasi ketua RW dan Ketua RT jahat ini menghasilkan penindasan atau setidaknya kesewenangan. Saat ada lowongan kerja yang perusahaannya ada di wilayah RW/RT mereka misalnya, maka akan digarap untuk kepentingan mendapatkan cuan. Warga setempat, dimarjinalkan. Yang didahulukan adalah mereka yang mau memberikan sejumlah uang.

Ketua RW dan Ketua RT jahat juga gagap sekaligus gugup dalam menjalankan tugas utamanya. Mereka wajib menjaga kerukunan. Ini artinya, mereka adalah arbritrator, tapi realitasnya malah lebih sering jadi agitator, bahkan agresor. Mereka yang mestinya jadi juru damai, malah menjadi pihak yang berkonflik dengan masyarakat.

Kelakukan dungu RW dan RT jahat seperti kembali ke Jaman Jepang. RW dan RT jahat seperti mewarisi watak fasis militer Jepang pada masa penjajahan. Saya jelaskan sedikit sejarah RW dan RT, biar jadi bahan renungan. Untuk lebih lengkapnya, akan dibahas di tulisan lain.

Aiko Kurasawa sebagaimana dikutip Hanif Nurcholis (2015) menerangkan, lembaga RT, RW, dan beberapa LKD lain adalah lembaga bentukan Pemerintah Pendudukan Jepang. Struktur lembaga di desa yang didesain Jepang meniru lembaga Buraku di Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, RW (atau dulu Rukun Kampung/RK) disebut Azazyookai. Sedangkan RT disebut Tonarigumi.

Sebagai penjajah, Jepang tentu berkepentingan membentuk azazyookai dan tonarigumi atau RW dan RT. Pemerintahan pendudukan militer Jepang memfungsikan azazyookai dan tonarigumi (RW dan RT) sebagai mobilisator untuk mengerahkan romusha, memaksa rakyat menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, dan menggerakkan rakyat untuk menyerahkan kebutuhan sehari-hari kepada Jepang secara gratis. Sadis ‘kan, kelakuan RW dan RT di zaman Jepang?!

Namun, menurut PJ Suwarno (1995), pasca kemerdekaan atau masa revolusi kemerdekaan, RK (sebutan RW dulu) dan RT merupakan pelayan masyarakat yang menyediakan bahan makanan bagi masyarakat yang membutuhkan, mengusahakan perlindungan bagi gerilyawan, mengamankan barang-barang yang ditinggalkan pemiliknya dan lain sebagainya. Mulia sekali RW dan RT di zaman ini.

Tapi hari ini, RW dan RT jahat malah mengembalikan fungsi dan watak RW dan RT di zaman kekejaman Jepang. Mereka merasa gagah dengan label ketua RW atau ketua RT. Dengan label itu, mereka merasa menjadi priyayi. Sepak terjangnya, malah lebih banyak menyusahkan masyarakat, ketimbang mencerahkan.

Lalu ada karang taruna dan LPM. Dua lembaga ini saudara kandung RW dan RT, dalam arti lahir dari rahim LKD. Tugasnya, jelas karang taruna kepemudaan dan LPM tugasnya pemberdayaan. Pimpinan dua lembaga ini pun kadang dilalui melalui proses haram, tak sesuai aturan.

Tapi karang taruna hari ini banyak yang jadi bromocorah. Mereka tak melakukan aktivitas peningkatan kapasitas pemuda, melainkan menjadi tukang jilat sepatu kepala desa. Karang taruna jahat justru melakukan euthanasia sikap kritis pemuda. Dan ironisnya, karang taruna yang merupakan organisasi pemuda malah dikuasai orang-orang senja.

Setali tiga uang, LPM juga demikian. Lembaga yang memiliki fungsi pemberdayaan masyarakat malah memperdaya masyarakat. Orang-orang di LPM tak layak karena mereka sendiri sebenarnya masih harus diberdayakan. Mereka minim kemampuan apalagi keterampilan. Mereka adalah orang-orang yang belum selesai dengan hidupnya, sehingga mencari penghidupan di lembaga kemasyarakatan desa.

Setan lain di desa adalah bank emok. Lintah darat ini bebas berkeliaran di desa. Mengiming-imingi warga desa dengan pinjaman tapi dengan bunga yang mematikan. Karena terdesak berbagai kebutuhan, warga dengan terpaksa meminjam. Ujungnya, warga desa tertawan angsuran yang makin hari makin memberatkan.

Lalu ada bandit desa. Bandit desa ini adalah orang-orang yang melakukan aksi premanisme. Umumnya, mereka mengintimidasi orang-orang tertentu dengan berbagai motif. Biasanya bandit desa ini dibayar penguasa atau pengusaha. Mereka bisa individual atau komunal dengan organisasi terstruktur.

Yang juga jadi sarang setan juga adalah BPD jahat. Organisasi ‘parlemen’ desa yang hanya jadi tukang stempel kepala desa. Lembaga bisu, sekaligus dungu, dan yang pasti tak tahu malu. BPD jahat bukan mewakili aspirasi masyarakat, melainkan jadi alat kepala desa untuk mengamankan kebijakan biadabnya.

Setan lainnya adalah kapitalis atau pabrik jahat. Pabrik yang datang ke desa dengan modal kerakusan, sehingga hanya melahirkan berbagai macam kerusakan. Pabrik seperti ini adalah pabrik yang berjalan atau berproduksi tanpa izin, mencemari lingkungan, merusak alam, atau bahkan merampas tanah masyarakat. Perusahaan jahat juga lazim menjalankan praktik upah murah dan pemberangusan serikat (union busting).

Dan tentu setan berpangkat perwira adalah kepala desa. Pemimpin desa yang tak peduli masyarakatnya. Dia gagal memimpin pemerintah desa sehingga masyarakat dirugikan oleh aksi pungli dan pelayanan buruk perangkat desa. Dibuat capek dan lagi-lagi pungli oleh RW dan RT, misal untuk alasan tanda tangan surat pengantar. Dia juga gagal membina harmonisasi karena kerap terjadi konflik antara masyarakat dengan ketua RW dan ketua RT.

Kades jahat juga gagal menyejahterakan masyarakat sehingga masyarakat harus meminjam uang di bank emok. Kegagalan karang taruna membina pemuda dan kegagalan LPM memberdayakan masyarakat adalah hasil kebijakan busuk kepala desa karena membentuk 2 lembaga itu secara banal. Kades jahat juga kadang yang menggerakkan bandit-bandit desa untuk mengintimidasi warga. Kades jahat juga aktor utama yang melumpuhkan peran BPD. Sehingga BPD jadi lembaga dungu.

Dan pasti, kades jahat adalah front, pembela utama pabrik jahat yang menindas masyarakat. Meski perusahaan beroperasi tanpa izin, aktivitas produksinya menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, bahkan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Namun, meski jelas-jelas melanggar aturan, pabrik sialan terus berjalan, karena didukung kades jahat yang melindungi dan membela kepentingan pabrik setan penindas rakyat.

Pabrik setan yang menindas rakyat terjadi di desa tempat saya tinggal. Ada satu perusahaan yang berproduksi tanpa izin. Aktivis produksinya sudah menyebabkan bau menyengat yang sangat menggangu kenyamanan warga. Bukan hanya itu, akibat bau itu, kualitas kesehatan warga juga terancam. Bahkan sudah ada korban. Oh, masih ada, pabrik biadab ini juga menyebabkan banjir.

Tapi, warga tak berdaya. Sebab pabrik bangsat itu dikawal ketat penguasa desa yang jahat dan bandit-bandit desa yang memposisikan diri sebagai anak buah si penguasa desa yang jahat. Sehingga gabungan penguasa jahat, kapitalis birokrat, dan bandit desa, menjadi benteng yang melindungi kepentingan pabrik yang orientasinya hanya mengejar keuntungan.

Sampai hari ini, warga masih harus merasakan resah akibat bau menyengat dari perusahaan. Sampai hari ini pula, tidak ada langkah konkret dari kepala desa atas penderitaan yang menimpa warganya. Yang ada, justru kepala desa membangun konsolidasi dengan RT dan RW untuk meredam amarah warga.

Dengan dalih melindungi investasi, warga dibungkam dan dipaksa bersabar. Kalimat palsu “kami tindak lanjuti” saban hari keluar dari mulut penguasa dan punggawanya. Tidak hanya bau, warga desa yang kerja di pabrik itu pun diupah dengan tidak layak. Serta sistem kerja yang tidak jelas.

Bahkan saat warga yang didominasi emak-emak melakukan aksi demonstrasi, tak nampak batang hidung penguasa desa. Padahal tuntutan warga hanya satu, hilangkan bau. Sungguh penderitaan masyarakat desa ternyata diawali keserakahan penguasa desa. Ia sama sekali tak peduli dengan nasib buruk warganya. Bagi dia, yang terpenting bisa membangun kemitraan dengan perusahaan sehingga bisa menghasilkan cuan.

Sudah seharusnya masyarakat desa bersatu, ganyang setan-setan desa. Lawan setan-setan desa yang hanya mendatangkan berbagai kerusakan!


Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi