Lensametro.com — Pernahkah kamu bertanya, sejak kapan manusia mulai berbohong? Ternyata, perilaku ini bukan sekadar urusan moral, tetapi juga bagian dari perjalanan panjang evolusi Homo sapiens. Tidak ada fosil yang menyimpan bukti kebohongan pertama, tetapi para ilmuwan mencoba merangkainya lewat psikologi evolusi, antropologi, dan studi tentang bahasa.
Berbohong butuh bahasa simbolik dan kemampuan memahami pikiran orang lain (theory of mind). Menurut penelitian arkeologi, bahasa kompleks diperkirakan muncul sekitar 50.000–100.000 tahun yang lalu, bertepatan dengan ledakan budaya pada Homo sapiens (Mithen, The Prehistory of the Mind, 1996). Sejak saat itulah, manusia bisa menyembunyikan niat atau menyampaikan informasi palsu—sesuatu yang mustahil dilakukan tanpa bahasa.
Psikolog perkembangan Kang Lee dari University of Toronto meneliti kapan anak mulai berbohong. Hasilnya menarik: anak berusia 2–3 tahun sudah bisa berbohong sederhana, misalnya menyembunyikan permen atau makanan yang mereka ambil diam-diam. Hal ini menunjukkan bahwa begitu bahasa dan teori pikiran terbentuk, kebohongan otomatis ikut lahir (Lee & Talwar, Child Development, 2002).
Ahli evolusi sosial Robin Dunbar berpendapat bahwa kebohongan berkembang bersamaan dengan gosip dan interaksi kelompok besar. Dalam bukunya Grooming, Gossip, and the Evolution of Language (1996), ia menulis bahwa komunikasi manusia tidak hanya untuk berbagi kebenaran, tetapi juga untuk mempertahankan status, memikat pasangan, hingga menipu pesaing. Dengan kata lain, kebohongan adalah “biaya sosial” dari otak besar kita.
Studi modern tidak hanya membahas asal-usul kebohongan, tetapi juga menyoroti kelompok mana yang lebih sering melakukannya.
———-
Beberapa survei global (misalnya, General Social Survey di Amerika) menunjukkan pria secara statistik lebih banyak berselingkuh dibandingkan wanita—meskipun kesenjangan gender makin mengecil dalam dekade terakhir.
Akan tetapi, dalam hal kebohongan untuk menutupi perselingkuhan, penelitian menemukan bahwa wanita cenderung lebih berhati-hati dan strategis. Mereka lebih sering menggunakan emotional manipulation atau alasan-alasan yang sulit diverifikasi (Allen, et al., 2005, Journal of Social and Personal Relationships).
Studi oleh Mark, et al. (2011, Journal of Sex Research) menyebutkan bahwa wanita yang berselingkuh lebih sering mencari kedekatan emosional selain kepuasan seksual. Akibatnya, kebohongan mereka sering diarahkan untuk melindungi hubungan utama (agar tidak runtuh), bukan semata untuk menutupi tindakan fisik.
Selain itu, wanita biasanya berkata bahwa mereka “hanya sibuk dengan pekerjaan atau teman” sebagai alasan ketidakhadiran, sementara pria cenderung memberi alibi yang lebih praktis (misalnya soal lembur atau perjalanan).
Menurut studi McCornack & Parks (1990, Journal of Social and Personal Relationships), wanita dalam hubungan romantis lebih banyak menggunakan “equivocation” (jawaban samar atau mengalihkan topik) ketimbang flat denial (penyangkalan tegas). Dengan kata lain, mereka lebih sering memilih jalan abu-abu yang sulit dipastikan, ketimbang berbohong langsung dengan “tidak, saya tidak selingkuh.”
Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa kebohongan wanita lebih sulit dideteksi dibanding kebohongan pria. Studi DePaulo, et al. (1996) menekankan bahwa wanita terbiasa menggunakan social lies (kebohongan sosial kecil untuk menjaga perasaan orang lain), sehingga mereka lebih terlatih dalam mengelola ekspresi dan bahasa tubuh. Karena itu, dalam konteks perselingkuhan, kebohongan wanita sering kali lebih halus, penuh detail, dan menyatu dengan narasi kehidupan sehari-hari.
———-
Kalau di masa lalu kebohongan mungkin hanya terbatas pada percakapan tatap muka, kini era digital membuatnya jauh lebih kompleks. Media sosial, aplikasi dating, hingga ruang kerja virtual memberi ruang baru bagi orang untuk menyembunyikan atau memanipulasi kebenaran.
Fenomena catfishing—membuat identitas palsu untuk menipu orang lain—sudah menjadi sorotan sejak awal 2010-an. Studi Whitty & Buchanan (2012, Computers in Human Behavior) menemukan bahwa orang yang merasa kesepian atau cemas secara sosial lebih cenderung menciptakan identitas palsu untuk berinteraksi. Kebohongan ini bisa ringan (memoles foto dengan filter) sampai berat (mengaku sebagai orang lain sepenuhnya).
Penelitian Hertlein & Stevenson (2010, Journal of Couple & Relationship Therapy) menunjukkan bahwa perselingkuhan kini sering bermula secara online—mulai dari chat intens, berbagi foto intim, hingga sexting. Dalam konteks ini, kebohongan sering berbentuk “hanya teman” atau “cuma main-main,” padahal keterikatan emosional sudah terjadi.
Era remote working juga memunculkan bentuk baru kebohongan. Contohnya, orang bisa berpura-pura sedang aktif di aplikasi kerja (green dot) padahal sebenarnya tidak, atau melebih-lebihkan produktivitas dalam laporan digital. Studi Harrington (2021, Journal of Business Ethics) menegaskan bahwa ketidakjujuran digital makin sering muncul karena kurangnya pengawasan langsung.
Kita juga makin akrab dengan white lies di era digital. Misalnya, bilang “baru lihat pesanmu” padahal sudah dibaca sejak lama, atau mengaku sibuk rapat padahal hanya ingin istirahat sejenak. DePaulo, et al. (1996) sudah mencatat kecenderungan kebohongan kecil ini dalam interaksi sehari-hari, tetapi di era digital, skalanya makin masif dan normal.
Singkatnya, era digital membuat kebohongan lebih mudah, lebih sering, sekaligus lebih sulit dideteksi. Dengan sekali klik, seseorang bisa menghapus jejak, membuat identitas baru, atau menulis narasi alternatif tentang dirinya.
———-
Kalau kita tarik garis besar, kebohongan kemungkinan besar muncul sekitar 50.000 tahun lalu, saat Homo sapiens mulai berinteraksi dalam kelompok besar dan memiliki bahasa kompleks. Sejak itu, kebohongan terus berkembang:
Menurut Sissela Bok, dalam bukunya Lying: Moral Choice in Public and Private Life (1978), kebohongan memang bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial. Yang membedakan adalah bagaimana kita memilih menggunakannya—sebagai senjata manipulasi atau sekadar trik kecil untuk menyenangkan orang lain.
Kalau dipikir-pikir, kemampuan berbohong ternyata bukan hanya “kesalahan moral”, tetapi juga bukti betapa canggihnya otak manusia. Jadi, bisa jadi kita adalah Homo sapiens justru karena … kita bisa berbohong. [LM]