Ketika Babi Menjadi Penguasa

doni
14 Mei 2025 13:59
Opini 0 159
7 menit membaca

Kekuasaan yang dikembangkan secara maksimal adalah kebahagiaan”

Demikian yang dikatakan Nietzsche. Barangkali, Napoleon juga membaca pernyataan Nietzsche ini. Musababnya, Napoleon begitu sukses mengonsolidasikan kekuasaan, yang awalnya untuk kemakmuran, menjadi alat penindasan.

Napoleon adalah babi hutan Berkshire yang bertampang garang. Dia berwatak munafik, penghasut, dan egois. Namun karena sifat-sifat itu pula, dia berhasil merengkuh kekuasaan di Peternakan Manor. Dia kemudian menjadi penguasa atas hewan-hewan lain di peternakan itu.

Agar pembaca dapat menemukan konteks pada tulisan ini, saya jelaskan, bahwa tulisan ini, terinspirasi dari novel fenomenal karya George Orwell berjudul Animal Farm. Saya sangat merekomendasikan bagi siapa pun, bahkan yang tidak pernah membaca novel sekali pun, untuk membaca karya yang pertama kali terbit pada 17 Agustus 1945, bersamaan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Orwell menulis kisah alegori tentang pemberontakan hewan-hewan di Peternakan Manor, milik Pak John. Bangsa hewan, yang awalnya dipimpin Major, babi tua yang revolusioner, siap melakukan pemberontakan dari penindasan kaum manusia. Dalam sebuah musyawarah peternakan (muspet), Major mengajak semua hewan di peternakan untuk melawan, merebut kemerdekaan alias kebebasan.

Namun, selang 3 hari usai muspet, Major tewas karena usia tua. Kepemimpinan kini dipegang dua babi: Snowball dan Napoleon. Snowball adalah figur yang cerdas dan progresif. Sementara Napoleon, berwatak lancung, pendengki, dan egois. Maka, Snowball nampak lebih menonjol. Sedangkan Napoleon, hari-harinya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus 9 ekor anak anjing yang ditinggal induknya.

Suatu hari, Pak John, lupa memberi makan hewan ternaknya. Para hewan pun, karena lapar, mencari sendiri makanan ke gudang penyimpanan. Tingkah para hewan membuat Pak John dan anak buahnya marah. Pak John dan anak buahnya kemudian memukuli beberapa hewan. Dan entah bagaimana, semua hewan di peternakan balik melawan. Ajaibnya, para hewan mendulang kemenangan. Pak John dan anak buahnya berhasil diusir. Revolusi berhasil diukir!

Snowball yang memimpin revolusi kemudian menata ulang peternakan. Ia bahkan membuat Konstitusi Hewan berisi 7 Pasal yang salah satu isinya adalah: semua hewan setara. Singkat cerita, meski tak dinobatkan secara resmi, Snowball memimpin peternakan itu. Snowball menata kemerdekaan yang diraih dengan semangat kesetaraan dan kolektivitas.

Namun, kemerdekaan yang harusnya membebaskan, perlahan berubah menjadi kengerian, saat Napoleon berhasil merebut kekuasaan. Sembilan ekor anjing yang Napoleon pelihara sudah tumbuh besar. Anjing-anjing itu digunakan Napoleon untuk mengintimidasi hewan-hewan, bahkan mengusir Snowball dari peternakan. Maka sejak itu, Napoleon mengangkat dirinya menjadi penguasa atas semua hewan di peternakan.

Kekuasaan ternyata tidak hanya dapat mengubah manusia, tapi juga hewan. Babi brengsek bernama Napoleon itu memimpin dengan otoriter. Napoleon menjadi despot, juga diktator. Napoleon mengubah sistem kekuasaan menjadi alat dominasi. Idealisme kekuasaan dikorupsi oleh ambisi.

Napoleon juga memimpin dengan patrimonial, karena hewan sebangsanya dan juga 9 ekor anjing, mendapat perlakuan istimewa. Tidak perlu lelah bekerja, tapi hidup mewah bak di surga. Anjing-anjing mendapat hak privilege karena menjadi bodyguard Sang Pemimpin Napoleon, babi hitam yang sebenarnya egois dan pendusta.

Keberhasilan Napoleon menjadi penguasa tiran, juga tidak lepas dari kepiawaian Squealer, babi yang pandai berbicara dan membaca, yang menjadi juru bicara atau asisten Napoleon. Squealer adalah babi muda, yang sebelum diangkat jadi juru bicara, hidupnya dihabiskan untuk berpesta-pora. Squealer hobi menenggak wiski atau mencecap mariyuana.

Apa pun yang dilakukan Napoleon, selalu bisa dijelaskan dengan sangat baik oleh Squealer. Segala kebusukan Napoleon berhasil dikemas dengan aroma yang wangi dan memikat berkat propaganda dan kebohongan Squealer.

Squealer mampu membujuk siapa pun tentang apa pun, sebuah keterampilan yang digunakan Napoleon dengan baik. Squealer saban hari selalu memuja-muji Napoleon. Pujiannya pada Napoleon menyundul langit. Hewan-hewan di peternakan selalu dibuat terkesima oleh pidatonya yang isinya cuma propaganda. Air di kolam rasanya bisa segar pun, kata Squealer, berkat kepemimpinan Napoleon. Langit menurunkan hujan, itu karena Tuhan mencintai Napoleon.

Di bawah kendali Napoleon, hewan-hewan yang “lepas dari penindasan manusia“, kini justru berada di bawah penindasan sesama hewan. Mereka dipaksa bekerja dengan sangat keras di bawah pengawasan para babi dan anjing, yang dipimpin sang revolusioner Napoleon.

Tak ada kebebasan, makanan tambahan, atau kemerdekaan menyatakan gagasan. Napoleon memberangus setiap kritikan, bahkan sesama babi pun dieksekusi dengan kejam, hanya karena menyampaikan protes atas dihilangkannya tradisi muspet dalam pengambilan keputusan.

Anjing-anjing bertampang garang selalu memberikan ancaman. Dan selalu memberikan pengawalan kepada Napoleon, kemana pun dia bepergian. Ditambah kebohongan demi kebohongan yang selalu Squealer sampaikan. Bahwa apa pun yang dilakukan Napoleon adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan para hewan.

Apakah Napoleon begitu hebat sehingga kekuasaannya begitu mapan? Tidak sepenuhnya benar. Ada sebab lain yaitu kebodohan yang melahirkan kepatuhan buta. Menihilkan nalar kritis dan akal sehat yang jatuh pada kepasrahan tanpa syarat.

Pernahkah anda mendengar pernyataan: hal yang lebih berbahaya dari ketidakadilan adalah ketidaksadaran. Ya. Ketidaksadaran untuk melawan, atau paling tidak mempertanyakan laku lampah kekuasaan.

Segala penderitaan itu sebenarnya terjadi, diantaranya karena kebodohan, kepatuhan buta, dan “ketidaksadaran”. Faktor terakhir saya beri tanda kutip karena yang dimaksud bukan berarti pingsan, melainkan ketidaksadaran untuk melawan.

Padahal Napoleon hanyalah babi, meski dikawal 9 anjing garang, namun tetap saja, andai para hewan melawan, kekuatan Napoleon akan tumbang.

Ada Benjamin, keledai yang sebenarnya cukup pandai. Namun ia terlalu apatis dan tidak peduli akan keadaan. Benjamin terlalu pesimistis atau mungkin realistis. Kemampuan Benjamin membaca yang ditopang ditopang dengan kekuatan tenaga, tak membuatnya merasa perlu melakukan perlawanan atas segala penindasan. Ia ikut saja apa pun yang Napoleon diputuskan.

Ada Boxer, kuda dengan semangat kerja yang luar biasa. Sayangnya, Boxer hanya punya tenaga, tapi tidak memiliki kecerdasan. Boxer hanya hafal alfabet sampai huruf D. Oleh karenanya, ia selalu bekerja keras, dan lebih keras setiap harinya.

Boxer yang bodoh, menjadi korban propaganda Squealer, corong Napoleon. Sambil membajak tanah, Boxer selalu mengulang-ulang yel “Napoleon selalu benar”. Kesetiaan tanpa pemahaman menjadikan Boxer korban sekaligus penopang sistem penindasan.

Selain Boxer, ada 2 kuda lain di peternakan itu, yakni Clover dan Mollie. Ada pasukan domba, biri-biri, ayam-ayam, dan hewan-hewan lainnya. Tapi tak ada satu pun yang memiliki kesadaran untuk melawan. Bahkan saat Boxer “dieksekusi” oleh rezim Napoleon, tak ada sama sekali perlawanan. Hanya sebatas gerutuan di belakang.

Jelas ini persoalan moral, tentang tanggung jawab individual sekaligus komunal di masyarakat. Orwell mengkritik sikap masyarakat yang masa bodoh. Saat ketidakadilan tidak menimpa dirinya, maka itu bukan masalah.

Orwell juga sebenarnya mengingatkan, bahwa kebebasan tidak cukup hanya diperjuangkan, melainkan mesti dijaga dengan kesadaran dan pengetahuan. Tanpa itu, kemerdekaan tidak akan melahirkan keadilan, tetapi hanya siklus baru dari perbudakan. Dan penindasan akan selalu menemukan pembenaran saat masyarakat tak cukup sadar atau berani untuk melakukan perlawanan.

Hukum pun dipermainkan agar sesuai dengan selera kekuasaan. Pasal yang awalnya berbunyi “semua hewan setara“, diubah Napoleon menjadi “semua hewan setara, tapi beberapa hewan lebih setara daripada yang lain”. Kebijakan itu membuat babi dan jongosnya, anjing, hidup mewah di tengah penderitaan hewan lain. Adakah yang protes? Tidak ada. Justru kebijakan itu diterima begitu saja.

Animal Farm tidak sekadar fabel, tapi pelajaran bagi kita umat manusia. Bahwa kekuasaan bisa membuat kecanduan lalu memabukkan. Sayangnya, watak Napoleon kerap didukung oleh anjing-anjing yang tanpa banyak tanya setuju saja apa pun yang diinginkan penguasa. Tanpa banyak pertanyaan, kebijakan penguasa akan segera ditandatangan oleh anjing-anjing sebagai bentuk persetujuan.

Sementara di sisi lain, begitu banyak Benjamin, masyarakat yang memiliki kapasitas intelektual, namun hanya diam. Cendekiawan yang harusnya mencerahkan dan memberi kritik pada kelakuan lancung kekuasaan, lebih banyak cari aman. Andai intelektual setuju dengan perilaku buruk penguasa, maka ia termasuk bandit. Kalau tidak setuju, tapi diam saja, maka ia munafik.

Banyak juga watak seperti Boxer atau Clover. Karakter yang tidak memiliki nalar kritis, menerima begitu saja apa yang disampaikan corong penguasa. Tak pernah mengevaluasi kebijakan kekuasaan.

Dan pasti lazim kita temukan watak Squealer, penjilat kekuasaan yang memiliki mulut manis bak gula biang. Sebagai juru bicara rezim, Squealer adalah simbol dari distorsi bahasa dan fakta yang menjadi alat dominasi

Ya, Orwell tidak sedang menulis dongeng tentang hewan, melainkan menggambarkan perilaku mencemaskan dari kemanusiaan.


Ditulis oleh: Ahmad Romdoni

Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi