Oleh: Ahmad Romdoni
“Jikalau Anda ingin menjadi penguasa yang hebat, maka Anda harus menjadi pembohong yang besar”
Demikian nasehat dari Machiavelli yang diucapkan di Italia beberapa ratus tahun lalu. Tapi sekarang, sepertinya nasihat itu dipraktekkan di Desa Cangkudu.
Nasihat dari Machiavelli itu akan selalu relevan dengan segala model kepemimpinan, kapan pun, dan di mana pun. Hal itu pula yang melatarbelakangi lahirnya adagium terkenal dari Lord Acton: “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely“. Jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, maka artinya: “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut”.
Itulah alasan pemimpin harus terus diingatkan. Pemerintahan harus memiliki penyeimbang, kita bisa sebut kritikus atau oposan. Ini penting agar selalu ada ruang untuk mengevaluasi bahkan mempersoalkan kekuasaan. Sebab, yang paling berpotensi melakukan ketidakadilan adalah kekuasaan.
Saya tidak yakin Kades Cangkudu mengimani nasihat Machiavelli ataupun Lord Acton. Lebih jauh lagi, bahkan mungkin tak pernah tahu Jean Jacques Rousseau yang mensyaratkan pemimpin harus melayani rakyat, bukan malah memperalat.
Namun, kekuasaan politik kerap berada pada persimpangan. Dua ide itu: Machiavelli dan Rousseau. Kita tentu berharap pemimpin yang ideal sebagaimana digambarkan oleh Rousseau atau Aristoteles. Pemimpin yang sejalan dengan nasihat ajaran Agama Islam: siddiq, amanah, fathanah. Sebab sejatinya, politik adalah pendistribusian keadilan sejak dalam tahap perencanaan.
Saya hanya berusaha mengilustrasikan gaya kepemimpinan, yang jauh-jauh hari sudah digambarkan oleh para filsuf. Gaya kepemimpinan Kades Cangkudu cenderung fokus pada upaya mempertahankan kekuasaan. Kades tidak membangun desa dalam arti substansial, tapi memperkaya diri dengan cara yang banal.
Celakanya, ketertutupan akses publik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik justru didukung oleh orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang itu akan dengan tanpa syarat mendukung segala keputusan Kades. Tanpa interupsi, apalagi koreksi.
Hal itu mengingatkan saya pada satu dongeng populer karya Hans Christian Andersen. Penyair berdarah Denmark-Norwegia itu mengarang satu dongeng fenomenal yang terkenal hingga hari ini. Dongeng itu berkisah tentang seorang raja yang begitu terobsesi dengan pakaian-pakaian mewah.
Alkisah, suatu hari 2 orang penipu mendengar kabar bahwa Raja sedang menginginkan baju mewah yang belum ada di dunia, baju yang hanya ada satu, tak ada dua, apalagi tiga. Dua orang penipu itu kemudian mendatangi istana dengan mengaku sebagai penjahit baju khusus dari sutera.
Singkat cerita. Salah seorang penipu yang berperawakan kurus, agak beruban, yang sehari-harinya mengurus ayam menyanjung setinggi langit selera berpakaian Sang Raja. Sanjungan itu disambut meriah oleh penipu yang lain, yang aslinya hanya penjual kayu bakar.
Dua penipu itu menjanjikan akan membuat pakaian dari sutera yang amat mewah. Saking mewahnya, pakaian itu hanya bisa dilihat oleh orang yang jujur, amanah, dan cerdas. Artinya, seorang pembohong, seorang khianat, atau seorang yang bodoh tak akan mampu melihat baju menawan itu.
Aneh memang, tapi Raja Percaya. Maka kedua penipu itu diberikan uang banyak untuk membeli kain sutera kualitas terbaik. Kedua penipu itu bahkan diberikan satu ruangan lengkap dengan alat-alat jahit. Tak hanya Raja, para pembantu Raja pun, seperti Menteri Pembangunan, Kepala Wilayah, Kepala Bagian Pemerintahan, dan Menteri-menteri lain juga turut percaya pada 2 pembual itu.
Hari berikutnya, kedua penipu itu melakukan aktivitas seolah-olah sedang memintal atau menjahit. Padahal aktivitas itu hanyalah gerakan karikatural, gerakan palsu. Karena penasaran, Raja mengutus Kepala Wilayah yang memiliki reputasi orang yang jujur. Alasan Raja mengutusnya, tentu karena hanya orang yang jujur yang dapat melihat pakaian itu.
Kepala Wilayah pun memasuki ruangan kerja 2 penipu. Ia melihat 2 penipu sedang melakukan aktivitas memintal dan menjahit. Tapi ia sama sekali tidak melihat sehelai benang pun apalagi kain sutera. Kepala Wilayah mulai ragu dengan dirinya. Ia merasa dirinya tidak cukup jujur sehingga tidak dapat melihat kain itu.
Seorang penipu kemudian bertanya:
“Bagaimana menurut Tuan kain ini?”
Kepala Wilayah yang tak mau reputasinya sebagai orang jujur tercemar, menjawab:
“Kain ini luar biasa lembut, ini istimewa,” jawab Kepala Wilayah berbohong, padahal ia sama sekali tak melihat apa pun.
Kepala Wilayah lalu melaporkan hal itu ke Raja. Kepala Wilayah mengatakan bahwa para penjahit bekerja dengan tekun. Kain yang digunakan pun adalah kain dengan kualitas yang amat istimewa. Kepala Wilayah tak berani jujur dengan mengatakan bahwa ia tak melihat apa pun.
Esoknya, Raja mengutus Menteri Pembangunan. Menteri ini dikenal amanah, sehingga memenuhi syarat sebagai orang yang bisa melihat pakaian istimewa itu. Saat tiba di ruang kerja penjahit, Menteri Pembangunan tidak melihat sehelai benang pun. Ia dalam hati bertanya-tanya: “apa yang sedang dilakukan 2 penjahit itu? Tak ada sehelai benang pun yang mereka pintal”.
Lagi-lagi, penjahit yang aslinya penipu itu mengganggu renungan Menteri Pembangunan, dengan mengajukan pertanyaan:
“Tuan, bagaimana pendapat Tuan dengan kain sutera yang akan dijadikan baju Paduka Raja?”
Tentu, Menteri Pembangunan yang dikenal amanah tak ingin citranya rusak. Dengan mantap ia menjawab:
“Kalian penjahit hebat. Ini adalah kain terbaik yang pernah saya lihat seumur hidup saya”.
Begitulah. Menteri Pembangunan melaporkan bahwa baju yang sedang dijahit menggunakan kain sutera istimewa. Dan dalam beberapa hari akan selesai lalu siap dipakai Raja. Mendengar laporan dari 2 pembantunya yang jujur dan pintar, Raja amat gembira.
Selanjutnya Raja mengutus Menteri Pemerintahan. Menteri ini dikenal cerdas. Tak perlu dijelaskan lagi, kejadiannya sama dengan Kepala Kewilayahan dan Menteri Pembangunan.
Ketiga pembantu Raja itu: Kepala Kewilayahan yang memiliki reputasi jujur, Menteri Pembangunan yang bercitra amanah, serta Menteri Pemerintahan yang dikenal cerdas, nyatanya tak sanggup melihat baju itu. Namun, ketiganya mengingkari pandangan mata mereka sendiri. Ketiganya kompak mengatakan bahwa baju untuk Raja yang sedang dibuat merupakan baju paling istimewa yang pernah ada di dunia.
Hari parade pun tiba. Dua penjahit menghadap Raja. Membawa baki yang seolah-olah berisi pakaian sutera nan istimewa. Dua penjahit itu bahkan melakukan gerakan seolah-olah sedang memakaikan baju itu kepada Raja.
“Silakan lihat diri anda di cermin, Paduka. Anda begitu berwibawa,” kata salah seorang penjahit itu.
Raja pun menghadap cermin. Aslinya Raja tersentak, karena di cermin ia hanya melihat dirinya sedang telanjang. Tapi ia harus memposisikan diri sebagai seorang yang jujur, amanah, dan cerdas. Sebagai Raja, tentu dirinya harus memiliki reputasi sebagai pemimpin yang siddiq, amanah, dan fathanah (jujur, amanah, dan cerdas).
“Kalian penjahit luar biasa. Ini adalah pakaian paling istimewa yang pernah saya pakai. Bagaiman menurut kalian, Wahai para menteri?” kata Raja.
Para Menteri yang aslinya melihat Raja sedang telanjang menjawab kompak bahwa Raja sedang mengenakan pakaian terbaik di dunia. Runtuh sudah label jujur dari Kepala Kewilayahan, ia berubah jadi pendusta. Rungkad reputasi amanah dari Menteri Pembangunan, dia pun menjadi khianat karena memilih membiarkan Raja dalam ketelanjangan. Dan hancur sudah gelar cerdas dari Menteri Pemerintahan, dia berubah menjadi baladah (bodoh atau dungu) karena mengatakan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan.
Sementara kedua penjahit penipu itu sudah kadung kabur membawa uang dalam jumlah banyak, sekaligus meninggalkan Raja dalam ketelanjangan dan para menteri dalam kebohongan, pengkhianatan, dan kebodohan.
Saat parade, Raja dengan pongah berjalan gagah. Akibat ucapan para menteri yang bohong itu, Raja percaya diri bahwa ia sedang menggunakan pakaian istimewa. Sementara masyarakat yang berkerumun hanya bisa saling pandang, tapi tak ada yang berani berkomentar bahwa Raja sedang telanjang. Masyarakat merasa aneh, mengapa Raja telanjang dan para menteri membiarkan.
Kemudian, seorang anak kecil yang polos dengan lantang mengatakan bahwa Raja tak tahu malu karena telanjang. Sontak perkataan anak kecil itu disambut masyarakat yang mulai berani mengatakan bahwa memang Raja sedang telanjang, tanpa sehelai benang.
Raja pun malu dan murka. Raja hanya bisa melampiaskan kemarahan kepada para pembantunya. Kini Raja sadar, para pembantunya itu pembohong, khianat, dan bodoh. Tapi ia tetap tak sadar, dirinya memiliki 3 hal itu: pembohong, khianat, dan bodoh.
Raja hanya sadar bahwa selama ini dijerumuskan oleh para menterinya yang tak selalu meng-iya-kan apa pun keputusannya. Padahal keputusan itu salah dan berakibat fatal. Para menteri tak peduli dengan Raja, yang mereka pedulikan hanya tahta dan jabatan, serta uang.
***
Dongeng di atas saya kira memiliki relevansi dengan kepemimpinan Kades Cangkudu. Ia dikelilingi “para penipu” yang memberikan sanjungan dan berbagai harapan. Ia dikelilingi para pembantu yang sebenarnya miskin legitimasi etik. Tak pernah mau, atau tak pernah berani mengingatkan bahwa dirinya sedang telanjang.
Masyarakat Desa hendaknya menjadi “anak kecil” di dongeng itu. Berani mengatakan kebenaran. Berani menyampaikan bahwa Kades Cangkudu sedang “telanjang”, maksudnya: kebijakan yang ia hasilkan bertabrakan dengan kepentingan banyak orang.
Memang, memimpikan pemimpin yang ideal nyaris omong kosong. Tapi kita bisa berharap memiliki pemimpin yang maksimal. Yaitu pemimpin yang senantiasa berusaha untuk siddiq, amanah, dan fathanah pada rakyat. Serta sadar bahwa sebagai manusia memiliki potensi berbuat salah. Apalagi saat diberi mandat kekuasaan oleh rakyat. Potensi membuat kerusakan menjadi lebih besar. Ingat, power tends to corrupt!
Okeh karenanya, kita harus mengaktifkan akal sehat. Membangun nalar kritis dan mempertajam sinisisme pada kekuasaan. Penguasa harus terus diingatkan sebagaimana Azan yang terus-menerus dikumandangkan agar kita semua tak lupa menunaikan kewajiban.
Kades Cangkudu harus diingatkan bahwa keadilan tidak lahir karena masyarakat yang tunduk, tapi lahir dari pemimpin yang jujur. Kesetaraan tidak akan berhasil hanya di atas kertas, tapi harus dieksekusi oleh pemimpin yang cerdas.
Kades harus sepenuhnya sadar bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia hanya dititipi kepentingan-kepentingan politik spesifik dalam jangka waktu tertentu. Itulah hakikat demokrasi yang menyediakan skema “radical brake“.
Bahkan dalam demokrasi, kebenaran pun bisa dikoreksi. Apalagi sesuatu yang salah. Dalam demokrasi, pemimpin mengemban kepentingan publik, maka ia harus siap dikritik, dipersoalkan, dievaluasi, sekaligus diberi sentimen oleh publik.
Ya ini fakta yang memalukan yang harus kita terima sebagai kenyataan. Silakan Kades menilai tulisan ini dengan sinis. Maka yang didapatkan hanyalah emosi dengan nyala api yang panas, seolah asap tebalnya dapat menutupi kesalahan. Atau mencerna tulisan ini dengan analisis dingin, sebagai cermin.
Resapilah tulisan ini dengan membuat kopi sendiri, duduk di sudut sendiri, bertanya pada diri sendiri. Baca ulang orang-orang yang berada di sekeliling, apakah mereka berfungsi mengingatkan? Atau hanya segerombol pendusta yang menyesatkan, yang hanya menjerumuskan pimpinan, demi langgeng dalam uang dan kekuasaan.
Salam!
Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi