Ketua BPD Cangkudu dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya: (a) belum memahami Pasal 20 Permendagri 73/2020 tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa sehingga tidak melakukan pengawasan…, (c) tidak melakukan pengawasan kaitan program ketahanan pangan….
Demikian bunyi ringkasan kesimpulan Laporan Hasil Audit Khusus Program Ketahanan Pangan yang Diduga tidak Sesuai Perencanaan di Desa Cangkudu tahun 2023. Program itu diduga menyimpang dari ketentuan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Dari hasil pemeriksaan, ditemukan: (1) kelebihan pembayaran sebesar Rp. 64.247.000; (2) 20 ribu ekor benih ikan lele mati.
Inspektorat menyatakan, audit dilaksanakan dengan menerapkan prosedur pemeriksaan sesuai standar audit auditor intern Pemerintah Indonesia (SA-AIPI). Juga dengan metodologi audit komprehensif sehingga cukup untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan. Dengan demikian, kesimpulan Inspektorat sebagaimana disebutkan di atas bukan kaleng-kaleng.
Saat saya membaca laporan Inspektorat itu, awalnya saya merasa kaget. Bagaimana mungkin Ketua BPD dianggap tidak paham aturan yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Bagi saya ini jelas aneh. Andai benar, lalu bagaimana cara Ketua BPD menjalankan tugasnya?!
Namun belakangan, saya akhirnya menyetujui kesimpulan Inspektorat. Nyata memang BPD Cangkudu tidak memiliki kapasitas. Baru-baru ini saja, BPD Cangkudu masih terlibat dalam kegiatan dengan tajuk peningkatan kapasitas. Acaranya pun dilaksanakan di Puncak, di hotel.
Satu sisi, saya setuju BPD ditingkatkan kapasitasnya, andai memang komposisi BPD benar-benar baru menjabat. Problemnya, BPD Cangkudu saat ini, didominasi orang-orang yang sudah menjabat selama 6 tahun. Andai tidak ada revisi UU Desa yang menambah durasi jabatan mereka, tahun ini mereka sudah selesai menjabat.
Bayangkan, sudah 6 tahun menjabat, BPD masih berkutat pada problem peningkatan kapasitas yang mengangkat tema ‘Peran BPD dalam Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa’. Lalu 6 tahun ke belakang, BPD bisa apa? Apakah kapasitas mereka benar-benar memprihatinkan?! Ini jelas melawan akal sehat.
Mari kita urai perlahan-lahan. Kegiatan peningkatan kapasitas itu dilaksanakan di Sangga Buana Resort and Convention, Cianjur. Ini jelas pemborosan anggaran di tengah gembar-gembor efisiensi anggaran. Dengan kegiatan itu pun, BPD Cangkudu jelas tidak peka. Padahal, belum lama beberapa titik di Cangkudu kebanjiran. Belum lagi persoalan bau yang sempat ramai meresahkan warga.
Kemudian, pengangguran di Desa Cangkudu juga masih menjadi persoalan. Perihal keterbukaan informasi, masih menjadi gunjingan. Namun, BPD Cangkudu tidak bersuara. Mulutnya seperti dijahit, atau jangan-jangan bungkam karena sedang sibuk mengunyah kudapan. Ya. Di tengah berbagai persoalan, BPD Cangkudu malah pelesiran.
Selanjutnya balik lagi ke soal kapasitas. Ini membuat kita harus mengelus dada. Sekali lagi, andai tidak ada penambahan jabatan, hari ini mereka sudah tidak lagi menjabat BPD. Tapi anehnya, di penghujung masa jabatan, malah masih sibuk dengan kegiatan jalan-jalan. Kedoknya peningkatan kapasitas.
Namun, BPD Cangkudu sepertinya sudah menebalkan muka, menutup mata, dan menyumbat telinga. Mereka tidak tahu malu pelesiran dengan uang rakyat. Mereka diam saat sederet persoalan menerpa warga. Dan mereka tuli saat masyarakat mengadukan nasibnya. Sungguh selain tak tahu malu, BPD Cangkudu juga begitu dungu.
BPD, dapat dikatakan lembaga legislatif, meski tidak ‘pek ketiplek’ layaknya lembaga legislatif baik daerah atau pusat. BPD adalah lembaga yang menjadi wadah untuk melakukan musyawarah dalam rangka pengambilan keputusan strategis desa.
Kepala desa tidak dapat membuat keputusan strategis, seperti penyusunan APBDes, atau mengesahkan dokumen perencanaan. Sebab itu termasuk keputusan strategis yang hanya bisa ditempuh melalui jalur musyawarah desa (musdes). Musdes adalah forum tertinggi di desa sehingga keputusan hasil musdes, menjadi hukum tertinggi di desa.
Forum musdes adalah domain BPD. Seorang kepala desa tidak bisa serta merta menyelenggarakan musdes, karena musdes adalah ranah BPD. Bahkan saat kepala desa dianggap melakukan pelanggaran atau penyimpangan, forum musdes bisa digunakan sebagai “arena penghakiman”.
Tanpa BPD, kepala desa tidak bisa menjalankan pemerintahan, bukan karena tidak mampu, melainkan tidak diperbolehkan aturan. Dalam melaksanakan tugas, panduan yang digunakan kepala desa adalah peraturan desa (perdes) misal tentang APBDes atau tentang perencanaan. Dokumen perdes, hanya bisa lahir apabila telah ada persetujuan bersama antara kepala desa dan BPD. Ringkasnya, tidak diperbolehkan kepala desa menyelenggarakan pemerintahan desa tanpa BPD.
Kondisi itu menunjukkan betapa krusialnya peran BPD. Kepala desa tidak bisa melakukan pembangunan desa tanpa BPD. Kenapa demikian? Karena BPD merupakan representasi atau perwakilan masyarakat desa. BPD adalah council (meski tidak sepenuhnya demikian), yang dianggap sebagai bentuk lebih ramping dari seluruh masyarakat desa.
BPD adalah seluruh masyarakat desa yang diwakili oleh 9 orang atau jumlah lain, namun tetap ganjil. BPD adalah wakil rakyat, yang di hati, lidah, dan pikirannya, mesti sepenuhnya merepresentasikan kepentingan masyarakat.
Namun sayangnya, BPD sudah menjadi lembaga yang tidak memiliki urat malu. BPD tidak lagi mewakili suara atau aspirasi masyarakat. BPD yang seharusnya diisi para petarung malah diisi orang-orang berwatak lancung. BPD adalah wakil masyarakat yang malah menjadi musuh masyarakat.
BPD memiliki otoritas dan kekuatan yang besar. BPD diamanahi tugas mengawasi kepala desa, oleh karenanya, SK dan kedudukan BPD setara dengan kepala desa. BPD dapat dikatakan auditor atau inspektorat, bahkan ombudsman di desa.
Saya kemudian teringat kisah unik Borislav Bereza. Ia adalah anggota Parlemen Ukraina. Pada Jumat, 24 Februari 2017, Bereza membawa boneka ke ruang sidang/rapat. Uniknya, boneka itu ia letakkan di kursi pejabat parlemen yang bolos rapat. Tingkah itu dilakukan Bereza sebagai bentuk sindiran kepada anggota parlemen yang malas datang ke gedung parlemen. Dengan bolos rapat, berarti anggota parlemen bolos dari menyuarakan aspirasi rakyat.
Apa yang dilakukan Bereza merupakan satire tentang kecenderungan anggota parlemen yang seperti boneka. Parlemen boneka paling sering terjadi di tingkat desa yaitu BPD, yang tidak lebih dari kelompok boneka yang geraknya dikendalikan oleh penguasa.
Parlemen adalah badan legislatif yang memiliki peran penting dalam sistem pemerintahan. Secara umum, parlemen berfungsi untuk membuat undang-undang, mewakili rakyat, dan mengawasi jalannya pemerintahan. Sebagai parlemen desa, BPD seharusnya menjadi garda pembela masyarakat desa. Bukan jadi boneka yang jelas tak bisa kerja.
Kita semua tahu apa itu boneka. Ya, boneka adalah seonggok benda mati yang tidak memiliki hati dan naluri, maka pasti tidak punya empati. Boneka sepenuhnya digerakkan oleh empunya. Untung saja BPD bukanlah boneka kayu. Sebab sudah pasti hidung mereka saat ini sudah sangat panjang, karena terlalu sering mengumbar kebohongan.
BPD telah direduksi menjadi boneka yang memegang stempel karet. Meski tampak independen, namun pada realitasnya, tindakan mereka dikendalikan oleh kekuatan kekuasaan. Jadi fair bila mengatakan BPD hanyalah pelengkap. Hanya boneka dari karet yang malah memantulkan kritik dan aspirasi masyarakat, alih-alih menerima atau menampungnya.
Maka sudah waktunya masyarakat menaruh harapan ke tempat lain, karena BPD sudah mengalami disfungsi. BPD hanyalah segerombolan boneka Chucky yang bersekongkol dengan penguasa yang hanya mementingkan diri sendiri. Merekalah orang-orang yang tidak tahu diri.
Akhirnya, kita harus terbiasa dengan kenyataan bahwa BPD bukanlah sumber kekuasaan legislatif atau pengawasan yang otonom. Melainkan sekadar istana boneka atau deretan wayang yang bersembunyi di balik pintu sigotaka yang handle pintunya dipegang oleh penguasa.
BPD hanya menjadi stempel karet, yaitu lembaga yang sebenarnya memiliki kekuasaan de jure yang besar namun secara de facto sangat kerdil. BPD dalam istilah metafora politik itu, adalah lembaga yang jarang atau bahkan tidak pernah untuk tidak setuju dengan kebijakan yang dibuat penguasa.
Secara ringkas, stempel karet biasanya ditujukan pada lembaga, terutama badan legislatif seperti BPD, yang selalu menyetujui kebijakan yang diusulkan tanpa telaah substansial apalagi diwarnai perdebatan dengan akal. BPD seperti ini tidak memiliki independensi dan hanya bertindak sebagai formalitas. Sambil tertawa-tawa, BPD model begini akan langsung menyetujui apa saja yang disodorkan penguasa.
Tanda tangan dan stempel BPD selalu diberikan tanpa pemikiran yang cermat, apalagi mendalam. BPD mirip Reichatag, yaitu Parlemen di masa Nazi di Jerman. Parlemen Reichstag selalu mengkonfirmasi secara bulat apa pun keputusan atau kebijakan yang dibuat Hitler. Maka Hitler pun pernah berkata “beruntunglah penguasa yang rakyatnya tidak pernah berpikir.”
Ditulis oleh: Ahmad Romdoni
Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi