JAKARTA (Lensametro.com) – Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa mengingatkan bahaya disinformasi di tengah era disrupsi dan post truth yang makin merajalela. Peringatan itu disampaikan saat peluncuran “Media and Peace Forum” yang digelar di Hall Dewan Pers, Jakarta, Senin (21/4/2025).
Menurut Teguh, di zaman ketika informasi datang begitu deras dari segala arah, media massa dan media sosial memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap konflik.
“Di era post truth, kebenaran atas apa yang terjadi rasanya menjadi kurang penting dibandingkan keinginan untuk mempercayai dan meyakini sesuatu. Di era disrupsi dan post truth ini, kebenaran mengikuti keyakinan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pada akhirnya cara individu memandang konflik sangat dipengaruhi oleh informasi yang mereka terima, termasuk dari media yang kerap kali menyajikan narasi terdistorsi.
“Informasi bukan lagi untuk menguji keyakinan, tetapi untuk mempertebal keyakinan,” katanya lagi.
Dalam forum tersebut, Teguh menekankan pentingnya peran “Media and Peace Forum” sebagai clearing house untuk menelaah dan menyikapi berbagai konflik, baik politik, sosial, lingkungan, maupun komunal, di dalam dan luar negeri.
Acara peluncuran itu turut dihadiri Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) Indonesia untuk Korea Utara Riza H. Wardhana dan KUAI Korea Utara untuk Indonesia So Kwang Yun. Hadir pula Wakil Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya, Direktur Grup Studi Juche Indonesia (GSJI) Teuku Rezasyah, serta Prodiser SEA Today M. Alvin Dwiana Qobulsyah yang menjadi pembicara dalam diskusi.
Korea Utara, Korban Hoax Media
Salah satu topik yang mencuat dalam diskusi adalah persepsi publik terhadap Korea Utara yang dinilai penuh kekeliruan. JMSI menyoroti bagaimana negara tersebut sering menjadi korban pemberitaan menyesatkan dan hoaks yang terus menyebar di masyarakat.
“Saya sendiri sudah belasan kali ke Korea Utara, diawali dari kunjungan pertama di tahun 2003, dan kunjungan terakhir tahun lalu. Saya kira, secara umum saya mengenali negara ini,” ujar Teguh, yang menulis disertasi tentang konflik di Semenanjung Korea yang dipengaruhi negara-negara besar.
Senada dengan itu, Alvin menegaskan bahwa narasi mengenai Korea Utara di Indonesia masih didominasi pemberitaan media Barat yang kerap kali sejalan dengan agenda politik rezim-rezim di negara Barat.
Ia mengajak masyarakat Indonesia lebih kritis dan cermat dalam menyerap informasi agar tidak terseret propaganda. Ia juga menyebut minimnya tim peliput dari Indonesia di Korea Utara menjadi kendala besar dalam mendapatkan informasi yang akurat.
Sementara itu, Teuku Rezasyah menjelaskan bahwa Korea Utara berpegang teguh pada ideologi Juche, yakni prinsip kemandirian, yang menjadi dasar kebijakan dalam negeri negara tersebut.
“Korea Utara adalah negara yang sering disalahartikan banyak negara di dunia. Keadaan ini tidak baik bagi hubungan antar-bangsa yang berdasarkan prinsip kesetaraan dan saling menghargai,” ujarnya.
Ia juga memaparkan hasil pengamatannya selama kunjungan ke Korea Utara tahun lalu, termasuk keberhasilan negara tersebut menjalankan pembangunan berbasis masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. [LM]