Gambar dibuat dengan AIOleh: Abu Hidzriyan Al-Bantany
———–
Sungguh ironis. Indonesia, negara dengan lebih dari 230 juta pemeluk Islam, justru masih tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Dalam laporan Corruption Perception Index (CPI) 2023 yang dirilis Transparency International, Indonesia meraih skor hanya 34 dari 100 dan berada di peringkat 115 dari 180 negara. Angka itu berbicara banyak: korupsi masih menjadi penyakit kronis yang menggerogoti tubuh bangsa dengan mayoritas penduduk muslim ini, padahal azan berkumandang lima kali sehari di seluruh penjuru negeri.
Sekali lagi, sungguh ironis. Di negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam—agama yang menekankan kejujuran dan amanah—justru praktik korupsi merajalela di berbagai lapisan, dari pejabat tinggi hingga birokrasi tingkat bawah. Maka, pertanyaan yang menggelitik pun muncul: bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap terhadap korupsi dan para pelakunya?
Korupsi tidak selalu dimulai dari angka besar atau ruang rapat mewah. Ia bisa berawal dari hal kecil—seperti memanipulasi nota perjalanan dinas, menerima “uang rokok” dari vendor, atau mencontek laporan keuangan agar terlihat bagus.
Sebagai muslim, kita diajarkan bahwa kejujuran adalah dasar iman. Rasulullah SAW bersabda, “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang benar, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi). Jika dalam urusan jual beli saja kejujuran menjadi tiket menuju kemuliaan, apalagi dalam urusan amanah publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak?
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap iman. Orang yang berbuat curang dengan menyalahgunakan jabatan sejatinya sedang meruntuhkan pondasi spiritualnya sendiri. Karena itu, kesadaran antikorupsi harus dimulai dari diri sendiri, dari keberanian menolak godaan sekecil apa pun yang bisa mencederai integritas.
Belakangan ini, publik kembali dikejutkan oleh kasus besar yang mencoreng wajah negeri: dugaan korupsi kuota haji tahun 2023–2024. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya praktik jual-beli kuota haji yang melibatkan hampir 400 biro perjalanan. Parahnya, kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun. Dan di balik angka triliunan rupiah itu, ada air mata jemaah yang tertunda keberangkatannya, ada doa yang tak kunjung terkabul karena dirampas oleh tangan-tangan rakus.
Bayangkan, ibadah suci yang semestinya menjadi perjalanan spiritual penuh keikhlasan justru dijadikan ladang bisnis gelap oleh oknum yang tamak. Di saat jutaan calon jemaah menabung selama bertahun-tahun untuk bisa berangkat ke Tanah Suci, ada pihak-pihak yang tega mempermainkan kuota demi memperkaya diri sendiri.
Inilah titik di mana keimanan seseorang diuji: apakah agama hanya berhenti pada ritual, atau benar-benar tertanam dalam nurani dan tindakan? Ketika keserakahan sudah menutupi hati, bahkan hal yang sakral pun bisa dijadikan objek transaksi.
Islam secara tegas mengutuk perilaku seperti ini. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 188: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…” Ayat ini bisa ditafsirkan sebagai peringatan keras bahwa setiap penyalahgunaan kekuasaan atau amanah—apalagi dalam urusan ibadah—merupakan bentuk kezaliman yang berat.
Korupsi tidak akan hilang hanya dengan regulasi keras atau penjara besar. Ia harus diberantas dengan kesadaran kolektif. Di sinilah peran umat Islam sangat penting.
Bayangkan jika setiap khutbah Jumat diisi dengan pesan moral tentang integritas, tanggung jawab, dan amanah publik. Jika para ustaz dan dai tidak hanya bicara tentang pahala dan surga, tetapi juga tentang pentingnya menjaga uang negara, menolak suap, dan bersikap jujur di tempat kerja. Dan yang terpenting, para ustaz dan dai itu pun menerapkannya dalam kehidupannya sendiri, masjid akan menjadi pusat gerakan moral antikorupsi yang efektif.
Gerakan ini perlu merembes hingga ke level keluarga. Anak-anak perlu diajarkan bahwa rezeki yang halal lebih berkah daripada yang besar tapi haram. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai kejujuran dalam hal sederhana, seperti mengembalikan uang kembalian yang lebih, atau mengumumkan barang atau uang orang lain yang ditemukan di jalan. Intinya, anak dididik untuk tidak mengambil hak orang lain, meskipun orang lain itu tidak dikenalnya.
Lalu, di level birokrasi, para pegawai muslim semestinya menjadikan iman sebagai filter moral. Ketika laporan keuangan disodorkan untuk “diatur sedikit”, hati nurani harus berani menolak. Ketika amplop tebal datang tanpa alasan jelas, ingatlah bahwa di balik uang itu ada dosa yang menunggu. Sayangnya, kesadaran akan risiko kerusakan moral inilah yang tampaknya terkikis dari perilaku umat Islam Indonesia, membuat korupsi merajalela, bahkan dinormalisasi sebagai budaya. Naudzubillaaah!
Parahnya lagi, korupsi zaman sekarang tidak selalu tampak jelas. Kadang, ia berwujud halus—seperti nepotisme, gratifikasi terselubung, atau penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Bahkan, di dunia digital, korupsi bisa muncul lewat mark-up proyek teknologi atau pengadaan fiktif.
Dalam konteks ini, sikap seorang muslim harus makin waspada. Islam menekankan pentingnya muraqabah—kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi. Ini adalah fondasi etika kerja yang kuat, karena motivasi untuk jujur bukanlah takut pada hukum, tapi takut pada Tuhan. Maka, sungguh mengenaskan ketika seorang yang percaya bahwa Allah selalu mengawasi justru berani melakukan korupsi, seolah-olah dia bisa mengelabui pengawasan Allah.
Kita bisa belajar banyak dari kisah para pemimpin Islam klasik. Umar bin Khattab, misalnya, terkenal sangat ketat terhadap potensi penyalahgunaan wewenang. Ia bahkan mematikan lampu minyak milik negara saat membicarakan urusan pribadi.
Sikap seperti itu adalah simbol integritas sejati—kesadaran bahwa amanah publik adalah tanggung jawab spiritual, bukan sekadar jabatan administratif. Bila nilai ini ditanamkan dalam diri setiap pejabat, barangkali Indonesia tidak akan terus berkutat di peringkat memalukan dalam indeks korupsi dunia (Transparency International 2023).
Menjadi muslim antikorupsi bukan berarti kita harus turun ke jalan atau membentuk organisasi besar. Cukup mulai dari langkah sederhana. Jujur dalam bekerja. Tolak suap meski kecil. Laporkan penyimpangan ketika melihatnya. Dan yang paling penting, jangan pernah diam melihat ketidakadilan.
Kesalehan pribadi harus berubah menjadi kesalehan sosial, kwtakwaan pribadi harus berubah menjadi ketakwaan komunal. Kalau salat membuat kita takut berbuat dosa, seharusnya salat juga membuat kita takut mencuri hak orang lain, seberapa pun kecilnya, lewat cara apa pun.
Gerakan antikorupsi umat Islam seharusnya lahir dari semangat bahwa iman tidak berhenti di rumah dan di masjid, tetapi hidup di tengah masyarakat, di ruang kerja, pasar, dan kantor pemerintahan. Jika setiap muslim memegang teguh prinsip itu, korupsi tidak akan punya ruang untuk tumbuh.
Kasus korupsi kuota haji di atas hanya salah satu dari sekian kejahatan pejabat yang mengkhianati amanah rakyat. Masih banyak kasus lain yang, sayangnya, justru kebanyakan dilakukan oleh para pejabat yang, notabene, beragama Islam.
Dari kasus-kasus tersebut, mestinya kita sadar bahwa korupsi bukan hanya soal uang, melainkan dan terutama soal moralitas. Bagi seorang muslim, setiap tindakan curang adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam yang luhur. Oleh karena itu, menjadi muslim antikorupsi adalah bentuk jihad modern, yaitu perjuangan menegakkan keadilan dan menjaga amanah publik.
Indonesia tidak akan berubah hanya dengan mengganti pejabat. Bangsa Indonsia—terkhusus umat Islam sebagai penduduk mayoritas—perlu menanamkan kembali nilai kejujuran dalam hati setiap individu. Dan perubahan itu, seperti semua hal besar lainnya, selalu dimulai dari satu langkah kecil: dimulai dari kesadaran pribadi untuk tidak mengkhianati amanah, sekecil apa pun. (AHB)
———-
Penyangkalan:
Konten tulisan di atas merupakan pendapat personal dan tanggung jawab penulisnya serta tidak mencerminkan kebijakan lensametro.com.