banner 970x250

Masifnya Konten Provokatif, Alasan Internet Papua Harus Diblokir

Redaksi
28 Agu 2019 21:28
Nasional 0 168
2 menit membaca

JAKARTA; LENSAMETRO — Tim Siber Polri dan Kemenkomifo menjelaskan latar belakang pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat lantaran banyaknya konten provokatif yang masih disebar. Mereka mencatat sekitar 32 ribu konten provokatif dan hoaks terkait situasi di Papua dan Papua Barat dihapus paksa dari hasil patroli dunia maya gabungan. Juga tercatat 1.700-an akun media sosial yang menjadi penyebar konten-konten negatif tersebut.

Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, tim siber gabungan melakukan patroli selama hampir dua pekan sejak 24 Agustus lalu. Laporan sementara sampai 27 Agustus, kata dia, tercatat penyebaran konten yang dianggap provokatif dan hoaks terkait Papua dan Papua Barat, paling banyak beredar lewat jejaring medsos Facebook dan Twitter.

Sekitar 70 persen, kata Dedi, penyebaran konten yang dianggap provokatif dan hoaks, dilakukan lewat dua jejaring media tersebut. Kanal Youtube yang menyediakan durasi video bergambar lebih panjang, juga dikatakan marak dijadikan laman penyebar informasi yang dianggap bohong dan provokatif tersebut.

Kominfo mengungkapkan bahwa pemblokiran internet seluler terpaksa dilakukan karena pembatasan fitur media sosial tidak bisa dilakukan secara regional.

“Karena teknologinya, pembatasan fitur terhadap media soaial tidak bisa dilakukan secara regional,” ujar Dirjen Aptika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerepan, ketika ditemui wartawan usai bertemu Ombudsman RI, Rabu (28/8/2019), di Jakarta.

Senada dengan Semuel, anggota Ombudsman RI, Alvin Lie menerangkan bahwa teknologi yang ada saat ini juga belum mampu membatasi akses media sosial hanya terbatas secara regional, yakni di wilayah Papua dan Papua Barat.

“Misalnya suatu platform media sosial, kalau dibatasi hanya untuk Papua itu belum bisa, kalau dibatasi ya seluruh Indonesia terbatasi,” terangnya.

Soal kondisi internet di tanah Papua saat ini, Semuel mengatakan masih ada sebaran konten yang berupaya memprovokasi atau mengadu domba masyarakat. Untuk itu, proses normalisasi belum bisa dilakukan dan menunggu keputusan dari para pemangku kebijakan lainnya.(rls)