KAB. TANGERANG (Lensametro.com) – Aksi unjuk rasa yang digelar oleh aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kabupaten Tangerang pada Senin (10/2/2025) di depan Gedung Bupati Tangerang berakhir ricuh. Unjuk rasa yang awalnya bertujuan menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK 2, justru berujung pada tindakan penghinaan terhadap perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2025, ketika sejumlah mahasiswa melakukan pembakaran spanduk yang memuat ucapan selamat Hari Pers Nasional.
Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Kabupaten Tangerang, Sangki Wahyudin, yang juga merupakan tokoh pers di Banten, mengungkapkan kekecewaannya terhadap aksi brutal tersebut. Sangki menegaskan bahwa aksi pembakaran spanduk HPN 2025, yang seharusnya menjadi momen penting bagi para wartawan di seluruh Indonesia, sangat melukai perasaan para insan pers.
“Saya sangat menyesalkan aksi brutal oleh BEM Kabupaten Tangerang. Saat ini kami (wartawan) sedang memperingati hari pers nasional, ini adalah sebuah perayaan besar bagi wartawan. Tentunya kami jadi merasa tidak dihargai,” kata Sangki dengan penuh penyesalan.
Lebih lanjut, Sangki mengingatkan bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945. Menurutnya, tindakan pembakaran spanduk tersebut bukan hanya sebagai bentuk ketidakhormatan terhadap wartawan, tetapi juga melukai nilai-nilai demokrasi yang harus dijaga bersama.
“Mahasiswa harus tahu bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi yang keberadaannya diakui oleh UUD 1945. Tentu saja, aksi brutal tersebut sangat melukai hati para wartawan,” jelasnya.
Sangki pun meminta agar BEM Kabupaten Tangerang bertanggung jawab atas insiden yang memicu kontroversi ini. Meski tidak melarang aksi unjuk rasa, ia menekankan bahwa setiap demonstrasi harus dilakukan dengan cara yang damai dan penuh penghormatan terhadap simbol-simbol yang ada di masyarakat.
“Silahkan berunjuk rasa, tidak ada yang melarang, tapi lakukan dengan damai. Kami meminta kepada BEM Kabupaten Tangerang untuk bertanggung jawab,” pungkasnya.
Aksi ini menambah sorotan terhadap hubungan antara mahasiswa, media, dan pihak pemerintah di Kabupaten Tangerang, serta menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana mengelola perbedaan pendapat di tengah kehidupan demokrasi yang sedang berkembang. [LM]