Oleh: Ahmad Romdoni
Pastinya semua dari kita sepakat bahwa desa sudah lebih dulu ada sebelum negara. Desa telah melewati perjalanan panjang sejak zaman kerajaan, zaman kolonial, hingga kemerdekaan. Maka wajar bila negara mengklaim memberikan penghormatan yang tinggi kepada desa.
Desa yang sudah eksis sejak zaman kerajaan disebut oleh pakar sebagai self governing community (komunitas yang mengatur dirinya sendiri secara otonom). Ada pula pakar yang menyebut desa sebagai local self government (pemerintah lokal yang memiliki wewenang mengatur dan mengatur urusan lokal secara otonom).
Dalam perjalanannya, setelah sempat dilumpuhkan oleh kolonialisme Belanda, Jepang, dan rezim Orde Baru, desa diklaim dikembalikan jati dirinya melalui UU 6/2014 tentang Desa. UU Desa disebut menjadikan desa berkekuatan hybrid yaitu gabungan self governing community dan local self government.
Tak pelak, lahirnya UU Desa pun disambut antusias. Bayak pihak optimistis UU Desa akan membawa desa maju dan berkembang. Apalagi, dalam UU Desa ditanamkan prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Sutoro Eko, dalam buku Desa Membangun Indonesia (2014), meyakini UU Desa adalah gerbang desa memasuki kemerdekaan desa. Sutoro yang juga penyusun RUU Desa mengatakan, lahirnya UU Desa merupakan kabar gembira bagi elemen masyarakat yang mendambakan pembaharuan desa.
Namun, ada pula pakar yang mengkritik UU Desa. Hanif Nurcholis dalam buku Pemerintah Desa Nagari Gampong Marga dan Sejenisnya: Pemerintah Tidak Langsung Warisan Kolonial yang Inkonstitusional, habis-habisan mengkritik rumusan UU Desa. Hanif menyebut, UU Desa menempatkan Pemerintah Desa pada posisi yang tidak jelas.
Hanif mengetengahkan istilah pakar lain mengenai ketidakjelasan status pemerintah desa seperti pemerintah tidak langsung atau pemerintahan semu. Bahkan Hanif dengan mantap menyebut pemerintahan desa sebagai pemerintahan palsu. Hanif bahkan tegas menyatakan Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU Desa inkonstitusional.
Tentu perbedaan pandangan para ahli itu memiliki dasar argumentasi yang kuat berdasarkan kajian dan riset ilmiah. Namun lepas dari perbedaan sambutan atas lahirnya UU Desa, baik Sutoro maupun Hanif, menurut saya, sepakat bahwa sampai saat ini, secara realitas, desa belum sepenuhnya merdeka.
Hanif menjelaskan bahwa desa adalah badan hukum sosial politik yang dibentuk negara sehingga tidak memiliki kemerdekaan adalah akibat dari struktur UU Desa. Sedangkan Sutoro menyatakan, kemerdekaan desa tereduksi oleh aturan turunan dari UU Desa yang amat banyak dengan materi yang mengamputasi kewenangan desa sebagaimana diberikan UU Desa.
UU Desa sudah memberikan kewenangan kepada desa untuk mengatur dirinya sendiri. Asasnya jelas yaitu rekognisi (pengakuan) dan subsidiaritas (pemberian mandat untuk mengurusi sesuatu). Bahkan secara rigid, UU Desa memberi macam-macam kewenangan kepada desa. Namun, aturan turunan dari UU Desa, mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen) dari berbagai kementerian, dan dari pemerintah daerah, membuat kemerdekaan desa dirusak.
Pemerintah Desa adalah badan hukum yang mirip perusahaan kontruksi. Pemerintah desa mirip perusahaan holding yang siap mengerjakan proyek-proyek dari pemerintah supra desa. Proyek-proyek yang dititipkan ke desa untuk dikerjakan itu direncanakan dan disusun di kota, tanpa melibatkan desa. Bahkan, proyek-proyek wajib dilaksanakan desa itu banyak yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat desa.
Sederet aturan itu juga membuat pemerintah desa sempoyongan. Kita tahu bahwa pemerintah desa digawangi oleh kepala desa dibantu perangkat desa. Dengan SDM dan kualitas seadanya, pemerintah desa dipaksa bekerja menyesuaikan dengan aturan-aturan yang ada, yang kadang, antara aturan yang satu dengan yang lain, tidak berkesesuaian.
Sutoro menyebut, negara yang seharusnya melaksanakan rekognisi berdasarkan UU Desa malah melakukan pengendalian dan pengaturan melalui birokratisasi dengan berbagai macam regulasi. Negara bukan mengurus desa tapi lebih banyak mengatur desa. Desa diberikan banyak batasan dengan berbagai kewajiban. Aturan-aturan itu malah mempersempit desa untuk mengeksekusi kemerdekaannya.
Contoh konkretnya, melalui PP 60/2014, negara menggeser makna dana desa menjadi program pemerintah. Akibatnya, berbagai pihak melihat itu sebagai celah untuk menunggang dan memanfaatkan dana desa.
Menurut Ari Surida dalam jurnal berjudul Menghadirkan Pemerintahan untuk Warga (2022: 3), PP 60/2014 yang menjadikan dana desa sebagai proyek kemudian merubah fungsi kepala desa sebagai pemimpin masyarakat dan pemerintah desa menjadi bermental kepala proyek yang direpotkan dengan urusan administrasi keuangan dan laporan pertanggungjawaban. Padahal seharusnya, dana desa adakah sumber penerimaan desa yang menjadi hak, kewenangan, kewajiban, dan tanggung jawab.
Institusi negara yang mengurus desa pun bercabang. Ada Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri. Kementerian dan lembaga lain pun bisa leluasa masuk ke desa seperti Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, hingga pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Akibatnya desa menjadi melting point dari berbagai kepentingan kementerian/lembaga dan ambisi politik kepala daerah.
Desa yang dianggap memiliki banyak uang kemudian dititipi program oleh kementerian/lembaga atau kepala daerah. Program Sustainable Development Goals (SDGs) adalah Program besutan Bappenas yang diwajibkan dilaksanakan oleh desa. Karena wajib, desa pun menganggarkan dana desa untuk program itu. Akibatnya, dana desa bukan digunakan untuk kepentingan masyarakat, melainkan untuk kepentingan kementerian.
Kemudian ada program ketahanan pangan, bantuan langsung tunai, penanggulangan stunting, dan lain-lain, yang merupakan program supra desa dari pemerintah pusat. Masih belum cukup, desa juga digempur dengan program wajib dari pemerintah daerah, mulai dari program fasilitasi paket C, ODF, bedah rumah, pengadaan ambulan, dan lain sebagainya.
Semua program itu wajib dilaksanakan melalui aturan Permen, Pergub, atau Perbup. Atau bahkan hanya semacam dokumen juklak dan juknis. Anggaran yang didapat desa ujungnya terserap untuk membiayai program wajib pemerintah atasan bukan untuk kepentingan masyarakat di pedesaan.
Parahnya, tidak ada evaluasi maksimal dari program yang dititipkan itu. Program SDGs misalnya, tak jelas manfaatnya. Padahal, anggaran yang digunakan lumayan besar. Program ketahanan pangan dan penanggulangan stunting hanya jadi bancakan. Sebab, kepala desa berpikir yang terpenting ada dokumen bahwa program itu dilaksanakan.
Untuk program ketahanan pangan, tinggal bikin kandang alakadarnya, beli kambing kurus 4-5 ekor, lalu foto. Kemudian dilaporkan dalam dokumen LPJ. Untuk penanggulangan stunting, tinggal adakan posyandu, undang ibu-ibu dan anak-anak, lalu anak-anak ditimbang, kemudian diberi 1 susu kotak siap minum, 1 roti, dan 1 butir telur rebus. Semua didokumentasikan untuk keperluan LPJ.
Cara banal mengakali program wajib itu kadang digurui oleh pendamping desa. Dalam melaksanakan tugas, pendamping desa pasti didesak data pelaksanaan kegiatan. Akhirnya, prinsip asal sama-sama menguntungkan dilaksanakan. Kegiatan dilaksanakan asal-asalan, yang terpenting ada spanduk kegiatan dan didokumentasikan. Bahkan bila dokumentasi tak ada, bisa cari di google foto. Dengan demikian, pendamping desa akan melaporkan bahwa kegiatan sudah dilaksanakan.
Begitulah adanya. Anggaran terserap begitu besar untuk mengongkosi program pemerintah atasan. Ironisnya, program dilaksanakan asal-asalan. Ujungnya, masyarakat desa yang dikorbankan!
Dengan adanya ketentuan-ketentuan itu, sejatinya kepala desa hanya menjadi pelaksana, bukan perencana. Kepala desa hanya melaksanakan, tidak pernah merencanakan. Kepentingan masyarakat desa menjadi terabaikan, karena yang dilaksanakan semata untuk menunaikan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atasan.
Intervensi pemerintah atasan kepada desa sudah pada taraf mencemaskan. Ke depan, bisa saja Kementerian PU mewajibkan semua desa membangun jembatan. Dan kepala desa akan membangun jembatan meski di desanya tidak ada sungai, artinya jembatan sama sekali tidak dibutuhkan. Namun karena kewajiban, perintah harus tetap dilaksanakan.
Seperti yang sudah disinggung di atas, kepala desa hanya pelaksana, bukan perencana. Maka kepala desa hanya berfungsi sebagai kontraktor yang digunakan pemerintah atasan untuk mengerjakan proyek yang sudah disepakati dalam kontrak. Kontrak itu adalah aturan yang bisa berupa permen, pergub, perbup, atau juklak-juknis.
Mungkin, pemerintah atasan menganggap kepala desa adalah kontraktor karena status pemerintah desa yang merupakan organ administratif korporatis yaitu badan hukum sosial-poltik sipil yang digunakan negara untuk melaksanakan kebijakan politik dan ekonomi (Hanif Nurcholis, Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI, 2105). Sehingga pemerintah atasan merasa wajar menitipkan proyek kepentingannya kepada kepala desa untuk dilaksanakan.
Hanif juga mengatakan, lembaga desa sejak zaman penjajah Belanda dan Jepang sampai dengan sekarang belum berubah. Lembaga desa tak beranjak dari lembaga masyarakat yang dikooptasi Negara dengan fungsi mediator, mobilisator, dan pengawas, watchdog penduduk, tidak dijadikan lembaga publik dengan tugas utama public service. Karena hal itu, Hanif berpendapat bahwa pemerintah desa tidak mengeksekusi urusan pelayanan publik pada tingkat desa.
Teranyar, negara mendorong program makan bergizi gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih (KMP). Dua program itu diturunkan ke desa dan wajib dilaksanakan. Padahal tidak pernah dilakukan pengukuran serius apalah 2 program itu relevan dengan kebutuhan masyarakat desa. Bisa saja di desa A dibutuhkan sedangkan tidak di desa B. Kemudian, apakah bisa 2 program itu dieksekusi dengan baik oleh kepala desa? Jangan sampai, anggaran desa terserap percuma untuk membiayai program ambisius yang direncanakan orang-orang kota, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat di desa.
Pemerintah atasan sudah harus menghentikan rangkaian intervensi ke pemerintah desa. Negara harusnya membina, bukan sekadar mengawasi, apalagi mengendalikan. Negara harus mengurus desa bukan dalam artian mengatur desa dengan serangkaian batasan dan kewajiban yang dibebankan ke desa.
Jalankan komitmen penghargaan terhadap desa secara konsisten agar tujuan UU Desa mewujudkan catur sakti desa yaitu bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, bermartabat secara budaya, dapat tercapai. Selain itu, agar kepala desa menjadi pelayan masyarakat, bukan melayani nafsu para birokrat!
Disclaimer: judul dan isi tulisan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari penulis dan bukan merupakan pandangan atau sikap redaksi