Oleh: Matari Weka
(Pemerhati Pendidikan)
***
Lensametro.com — Beberapa waktu yang lalu, jagat pendidikan kita kembali diguncang oleh kabar yang ironis: seorang kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, dinonaktifkan setelah menegur—kabarnya, dengan menampar—seorang siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Tak lama berselang, orang tua sang siswa melaporkan sang guru ke polisi. Pemerintah Provinsi Banten pun, tanpa menunggu hasil penyelidikan mendalam, langsung menonaktifkan kepala sekolah tersebut.
Sebuah peristiwa yang seolah sederhana—seorang guru menegur muridnya yang melanggar aturan—tiba-tiba berubah menjadi drama sosial, hukum, dan moral yang mengusik nurani. Kita seakan dipaksa menatap wajah buram pendidikan kita sendiri: ketika guru yang mencoba menanamkan disiplin justru dianggap bersalah, dan siswa yang melanggar aturan tampil sebagai korban yang harus dilindungi.
Sekolah sejatinya bukan hanya tempat belajar rumus dan teori, melainkan ruang pembentukan karakter. Di sana, guru bukan sekadar pengajar, melainkan juga pendidik—penegak nilai-nilai moral, etika, dan tanggung jawab. Namun, kasus di Cimarga menunjukkan betapa kaburnya batas antara “mendidik” dan “melanggar hak anak” dalam pandangan publik masa kini.
Kita hidup di masa ketika disiplin dianggap keras, dan teguran disamakan dengan kekerasan. Padahal, di dalam dunia pendidikan, ada konteks yang tak bisa dipisahkan dari tindakan seorang pendidik: niat untuk membentuk perilaku yang lebih baik. Tentu, kekerasan fisik tidak bisa dibenarkan. Namun, apakah setiap tindakan spontan yang lahir dari tanggung jawab moral seorang guru pantas langsung diadili dengan stigma pelanggaran hukum?
Ironisnya, masyarakat kerap lebih cepat berempati kepada siswa yang ditegur daripada kepada guru yang bertanggung jawab. Kita lupa, teguran adalah bagian dari kasih sayang dalam pendidikan. Guru yang menegur berarti masih peduli. Guru yang marah saat melihat muridnya merokok berarti masih memiliki nurani. Namun, kini rasa peduli itu justru bisa dianggap sebagai tindakan kriminal dan berujung pada hukuman bagi sang guru.
Langkah cepat pemerintah daerah untuk menonaktifkan kepala sekolah tersebut patut dipertanyakan. Bukankah seharusnya penyelidikan dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan duduk perkaranya? Dengan tindakan tergesa itu, pemerintah seperti mengirim pesan yang berbahaya: bahwa otoritas moral guru tidak lagi memiliki tempat, dan bahwa anak yang melanggar tata tertib berhak berlindung di balik hukum tanpa introspeksi.
Inilah yang membuat dunia pendidikan kita kian gamang. Ketika guru kehilangan perlindungan, siapa yang akan menegakkan wibawa di sekolah? Bagaimana mungkin kita berharap lahir generasi yang berakhlak baik dan berdisiplin jika lembaga yang seharusnya melatih kedisiplinan justru mengancam pendidiknya sendiri?
Tindakan Pemprov Banten itu mungkin dimaksudkan sebagai langkah administratif—untuk menenangkan situasi, menjaga netralitas. Namun, di mata publik, langkah itu menimbulkan persepsi lain: bahwa pemerintah lebih cepat berpihak kepada suara keras daripada kebenaran yang tenang, bahwa citra institusi lebih penting daripada nasib seorang pendidik yang berjuang menjaga nilai-nilai pendidikan.
Peristiwa di Cimarga seharusnya membuat kita merenung: nilai-nilai apa yang sedang kita wariskan kepada generasi muda? Apakah kita sedang mengajarkan bahwa mereka boleh berbuat salah asalkan punya keberanian melapor ketika ditegur? Atau bahwa guru harus berhati-hati dalam bersikap—bukan karena takut salah mendidik, melainkan takut dilaporkan ke polisi?
Jika demikian, kita sedang menciptakan dunia pendidikan yang rapuh, di mana disiplin menjadi tabu dan penghormatan terhadap guru tinggal cerita lama. Padahal, bangsa ini tumbuh karena penghormatan terhadap pendidik yang begitu tinggi. Dalam budaya kita, guru bukan sekadar pegawai negeri yang mengajar, melainkan sosok moral yang membentuk akal dan budi. Namun, kini guru harus menimbang-nimbang setiap kata, setiap gerak tangan, setiap nada suara, karena salah sedikit saja bisa menjadi berita nasional dan bahan pengaduan yang berakhir pada terputusnya profesinya sebagai guru.
Kasus Cimarga bukan sekadar soal hukum, melainkan soal nilai. Ia memperlihatkan krisis keteladanan yang menjalar dari rumah hingga sekolah, dari orang tua hingga pejabat. Ketika anak merokok di sekolah, itu bukan semata-mata karena kegagalan pengawasan guru, melainkan juga cermin dari lemahnya pendidikan karakter di rumah. Namun, alih-alih berterima kasih ketika anaknya ditegur, sebagian orang tua justru tidak terima dan memilih menempuh jalur hukum.
Pada dasarnya, pendidikan adalah tanggung jawab orang tua. Ketika orang tua menyerahkan pendidikan anaknya ke sekolah, pada saat itu pendidikan menjadi kerja sama antara sekolah dan keluarga. Jadi, ketika salah satu pihak menganggap dirinya pihak yang selalu benar, kerja sama itu pun runtuh. Guru akhirnya terisolasi dalam ketakutan, sementara murid tumbuh dalam keyakinan bahwa mereka bisa melakukan kesalahan tanpa konsekuensi.
Kita tentu tidak membenarkan kekerasan di sekolah. Namun, kita juga tidak boleh membiarkan pendidik menjadi korban sistem yang kehilangan akal sehat. Negara perlu hadir bukan hanya sebagai penguasa, melainkan juga sebagai pelindung moral bagi para guru yang berjuang menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Pemprov Banten seharusnya tidak tergesa menonaktifkan kepala sekolah tanpa klarifikasi dan pendalaman konteks. Tindakan administratif bisa dilakukan, tapi dengan hati-hati agar tidak mengubur martabat profesi pendidik. Pendidikan tidak akan pernah maju jika guru selalu hidup di bawah ancaman laporan dan stigma.
Setelah berbagai kasus pendidikan serupa, kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk menata ulang pandangan kita tentang pendidikan. Disiplin bukanlah kekerasan. Teguran bukanlah penghinaan. Dan guru bukanlah musuh yang harus diawasi, melainkan mitra yang harus dilindungi.
Jika kita terus membiarkan nilai-nilai pendidikan terbalik sebagaimana tecermin dalam kasus ini, jangan heran jika sekolah akan terus menjadi sekadar tempat mencari nilai akademis seperti sekarang—bukan tempat meraih ilmu dan menempa adab. Dan ketika itu terjadi, kita tidak hanya kehilangan guru, tetapi juga kehilangan arah sebagai bangsa yang—katanya—menjunjung tinggi pendidikan. [LM]
———-
Penyangkalan:
Konten tulisan di atas merupakan pendapat personal dan tanggung jawab penulisnya serta tidak mencerminkan kebijakan lensametro.com.