Gambar: freepik.comLensametro.com — Beberapa waktu lalu, seorang remaja di Jakarta bernama Rani mengunggah curhatnya di medsos tentang stres akibat cyberbullying. Ia merasa hidupnya berantakan hanya karena komentar jahat di kolom unggahan. “Saya jadi takut buka Instagram,” tulisnya. Cerita Rani membuat saya merenung: betapa kuatnya pengaruh dunia maya terhadap emosi kita. Kadang, tanpa sadar medsos bisa membuat kita kehilangan ketenangan.
Kalau kamu merasa lelah, cemas, atau hampa setelah berjam-jam skroling, bisa jadi tubuh dan pikiranmu sedang meminta istirahat. Nah, inilah saatnya kamu mempertimbangkan detoks medsos (social media detox).
Detoks medsos berarti mengambil jeda sementara dari penggunaan media sosial untuk memulihkan keseimbangan mental dan emosional. Tujuannya bukan untuk menghapus akun atau menjauh selamanya, melainkan untuk memberi ruang bagi dirimu agar bisa beristirahat dari tekanan informasi, perbandingan sosial, dan notifikasi yang terus berdentang. Dalam masa detoks ini, kamu belajar kembali menikmati dunia nyata tanpa distraksi digital.
Nah, berikut ini 10 tanda bahwa kamu butuh detoks medsos dan apa yang bisa kamu lakukan untuk memulihkan diri.
Kamu baru saja bangun tidur, dan hal pertama yang kamu lakukan adalah membuka ponsel. Kalau tidak sempat, rasanya ada yang hilang. Ini tanda FOMO (Fear of Missing Out), perasaan takut ketinggalan informasi atau momen viral. Padahal, dunia nyata tetap berjalan meski kamu offline.
Menurut laporan We Are Social 2024, rata-rata orang Indonesia menghabiskan sekitar 3 jam 15 menit per hari di medsos. Jika kamu dua kali lipat dari angka itu, mungkin sudah saatnya mengevaluasi. Bayangkan berapa banyak waktu produktif yang bisa kamu gunakan untuk hal lain.
Cahaya biru dari layar bisa mengacaukan produksi melatonin, hormon yang mengatur tidur. Jika kamu sering skroling sebelum tidur dan berakhir susah memejamkan mata, coba hentikan kebiasaan itu setidaknya satu jam sebelum tidur.
Kamu lihat teman liburan ke Bali, ke Cappadocia, atau ke Paris, lalu merasa hidupmu membosankan. Padahal, medsos hanya menampilkan “sisi terbaik” orang lain, bahkan sering kali itu hanya kebohongan. Jika karena itu kamu merasa hidupmu nelangsa, itu pertanda butuh jeda.
Medsos dirancang untuk menarik perhatianmu setiap beberapa detik. Kalau kamu sulit fokus bekerja atau belajar tanpa memeriksa notifikasi, bisa jadi kamu sedang terjebak dalam pola dopamine hit yang tidak sehat.
Istilah dopamine hit merujuk pada dorongan singkat dari otak setiap kali kamu mendapatkan sesuatu yang menyenangkan—seperti likes, komentar, atau notifikasi baru. Dopamin adalah zat kimia yang membuatmu merasa senang dan termotivasi. Masalahnya, media sosial memanipulasi sistem ini dengan terus memberi rangsangan kecil yang membuatmu ingin mengecek layar lagi dan lagi. Akibatnya, otak jadi terbiasa mencari kepuasan instan, dan fokus pun mudah buyar.
Setelah membaca komentar negatif atau berita penuh amarah, kamu merasa gelisah atau kesal seharian. Itu bukan hal kecil. Emosi digital sering terbawa ke dunia nyata tanpa kita sadari. Akibatnya, kehidupan nyatamu yang tidak ada hubungannya dengan medsos pun menjadi terganggu.
Alih-alih menikmati makan malam, kamu malah sibuk memotret makanan untuk story. Jika kamu lebih sibuk membagikan momen daripada benar-benar mengalaminya, saatnya kamu menekan tombol disconnect.
Kamu bersama keluarga, tetapi semua sibuk dengan ponsel masing-masing. Kedekatan emosional perlahan memudar karena dunia maya terasa lebih menarik. Gawai yang mulanya diciptakan untuk mendekatkan yang jauh justru berbalik menjadi menjauhkan yang dekat.
Satu komentar negatif bisa menghantui pikiranmu berhari-hari. Kamu merasa semua orang di medsos membaca komentar itu dan kamu merasa khawatir. Jika itu terjadi, kamu perlu melindungi kesehatan mentalmu dengan membatasi interaksi digital.
Terlalu sering menilai diri berdasarkan likes dan followers bisa membuatmu kehilangan jati diri. Ketika kamu posting status dan hanya sedikit yang like, padahal biasanya ratusan atau ribuan, kamu merasa tak berarti lagi. Ingat, kamu jauh lebih berharga daripada angka-angka di layar.
Mulailah dari hal kecil. Misalnya, satu jam tanpa gawai sebelum tidur. Gunakan waktu itu untuk membaca buku atau menulis jurnal atau bermeditasi.
Gunakan fitur Digital Wellbeing untuk melihat aplikasi yang paling menyita perhatian, lalu beri batas waktu penggunaannya.
Pergi jalan-jalan sore, berkebun, atau bertemu teman, dan matikan gawai ketika mengobrol. Dunia nyata tetap menarik, asal kamu mau kembali menyapanya.
Coba satu hari penuh tanpa medsos. Ini pasti berat. Awalnya mungkin kamu akan merasakan ada yang hilang, tetapi setelahnya, kamu akan merasakan kelegaan luar biasa.
Medsos tentu saja bukanlah musuh. Ia hanyalah alat. Yang penting, kamu tahu kapan harus terhubung, dan kapan perlu menjauh. Karena terkadang, offline dan hadir di dunia nyata justru merupakan bentuk self-care terbaik. [MW]