Oleh Matari Weka
Kalau kamu tumbuh di era 2000-an, besar kemungkinan kamu kenal One Piece. Anime dan manga karya Eiichiro Oda ini mengisahkan petualangan Luffy dan kawan-kawan dalam mencari kebebasan sejati di lautan yang dikuasai sistem yang korup dan otoriter.
Bendera mereka—yang dikenal sebagai Jolly Roger atau Dokuro—bukan sembarang kain bergambar. Di dunia One Piece, setiap kru bajak laut punya lambang yang mewakili nilai dan tujuan mereka. Bagi kelompok Topi Jerami, bendera itu bukan cuma penanda identitas, melainkan janji untuk menolak tunduk pada tirani dan memilih jalan sendiri meski harus melawan arus. Maka, ketika bendera itu dikibarkan di dunia nyata, ia membawa makna yang tak kalah kuat: semangat melawan ketidakadilan dengan cara yang berani, tapi jenaka sekaligus penuh tekad.
Jadi, ketika mahasiswa atau warga biasa mengibarkan bendera itu, sebenarnya mereka sedang bericara dalam bahasa yang dipahami sesamanya sebagai: “Kami sudah muak!”
Alih-alih menggunakan telinganya untuk mendengar dan mengapresiasi, sebagian pejabat malah sibuk meradang. Ada yang menyebutnya penghinaan, ada pula yang mengancam pidana. Aparat turun tangan, menyelidiki siapa yang mengibarkan bendera fiksi itu seolah-olah hal itu tindakan kriminal yang lebih besar daripada korupsi yang mereka lakukan.
Ini mencerminkan ketakutan yang tidak perlu. Ketika simbol populer dianggap musuh, negara sedang menunjukkan betapa tipis telinganya, tapi betapa tebal kulitnya.
Bukannya berpikir reflektif—kenapa rakyat harus menggunakan simbol fiksi untuk protes—mereka justru memilih bersikap reaktif. Padahal, yang menghina negara bukanlah bendera fiktif itu, melainkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang justru terus-menerus melukai rakyat.
Kita sudah melihat ini sebelumnya bagaimana topeng Guy Fawkes dari film V for Vendetta sempat menjadi simbol protes global. Di Hong Kong, demonstran menggunakan karakter Winnie the Pooh untuk menyindir Xi Jinping. Kini, giliran di Indonesia, bendera One Piece menjadi media ekspresi.
Ini bukan keisengan. Ini adalah transformasi komunikasi politik generasi muda.
Kalau negara hanya mengenal bentuk protes tradisional seperti orasi dan spanduk, simbol pop kultur adalah cara baru rakyat untuk bersuara—dan sering kali cara ini justru lebih kuat, lebih menyentuh, lebih viral!
Kebebasan berekspresi bukan hiasan konstitusi, tetapi napas dari demokrasi itu sendiri. Ketika rakyat tak lagi bisa menyuarakan kritik, bahkan dalam bentuk simbol, itu tanda demokrasi sedang sekarat.
Mengkriminalisasi bendera bajak laut adalah tindakan picik. Negara seharusnya mendengar, bukan membungkam. Kalau simbol fiksi saja dianggap ancaman, itu berarti pemerintah sedang kehilangan kendali atas narasi dan kepercayaan publik.
Dengarlah, Sebelum Terlambat
Fenomena bendera One Piece bukan soal fandom atau tren anak muda semata. Ini alarm. Tanda bahwa ada yang sedang tidak beres. Simbol fiksi jadi saluran nyata untuk menyuarakan frustrasi terhadap sistem yang dinilai gagal.
Kalau negara bijak, ia akan menanggapi ini dengan introspeksi, bukan represi. Karena seharusnya pemerintah lebih takut kepada rakyat yang diam daripada kepada rakyat yang mengibarkan bendera bergambar tengkorak.
Dan ketika bendera fiksi lebih dipercaya rakyat daripada lambang negara, yang harus ditinjau ulang bukan pengibar benderanya, melainkan cara negara memerintah. [ ]
Disclaimer:
Konten opini di atas merupakan tanggung jawab penulisnya dan tidak mencerminkan kebijakan Lensametro.com.