Opini; Untirta dan Pangan

Oleh Angga Hermanda

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa atau yang dikenal dengan Untirta didirikan pada tanggal 1 Oktober 1980. Kampus ini dahulu bernama Universitas Tirtayasa sebelum pada tanggal 13 Oktober 1999 dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 130 tentang Persiapan Pendirian Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa.

Kemudian pada tanggal 19 Maret 2001 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32/2001, Untirta secara resmi ditetapkan menjadi Perguruan Tinggi Negeri.

Keputusan penegerian Untirta ini pada prosesnya seiring sejalan dengan penetapan pembentukan Provinsi Banten yang memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan pengesahan UU No. 23 tahun 2000 Tentang Pembentukan Propinsi Banten oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa sendiri dipilih dari nama pahlawan nasional yang berasal dari Banten berdasar Keputusan Presiden RI Nomor 045/TK/1970. Sultan Ageng Tirtayasa ialah pewaris Kesultanan Banten keempat yang secara gigih menentang penjajahan Belanda dan berhasil membawa Kesultanan Banten pada masa kejayaan dan keemasan terutama pada sektor pertanian dan pangan.

Pengangguran dan Kemiskinan Banten

Sebagai universitas negeri pertama di Provinsi Banten, Untirta mengemban tugas penting untuk terlibat aktif mengawal dan memberikan masukan kebijakan kepada pemerintah daerah dan pusat. Terutama kini Untirta sudah menginjak usia yang ke-39 tahun. Peran Untirta semakin diharapkan terus memberikan sumbangsih dalam mewujudkan masyarakat Banten yang adil, makmur dan sejahtera berlandaskan iman dan taqwa.

Sementara itu berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Banten saat ini menduduki posisi yang tertinggi se-Indonesia, yakni sebesar 8,01 persen pada Februari 2020. Angka ini bahkan lebih besar dari rata-rata TPT nasional sebesar 4,99 persen, dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Barat 7,69 persen, DKI Jakarta 4,93 persen atau bahkan Papua Barat di angka 6,20 persen. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat letak geografis Banten sebagai provinsi penyangga ekonomi ibu kota negara.

Disisi yang sama masih merujuk data BPS, pada bulan Maret 2020 jumlah penduduk miskin—penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan—di Banten masih cukup tinggi yakni sebesar 775,99 ribu orang atau 5,92 persen. Bahkan sejak bulan Maret 2012, situasi kemiskinan Banten cenderung terus memburuk diangka kisaran 600 ribu-an orang. Selama periode September-Maret 2020, Garis Kemiskinan di Banten berada pada besaran Rp 508.091,- per kapita per bulan. Adapun penyumbang terbesar bagi besaran garis kemiskinan ini adalah dari kelompok makanan terutama beras.

Beras menyumbangkan 17,57 persen garis kemiskinan di perkotaan dan 21,52 persen garis kemiskinan di perdesaan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat perdesaan yang sebagian besar bekerja disektor pertanian justru menjadi konsumen beras dalam waktu yang bersamaan. Demikian juga masyarakat perkotaan yang harus menyisihkan lebih dari seperlima pengeluaran mereka demi membeli beras atau bahan pangan lainnya.

Krisis Pangan

Pangan sebagai masalah utama kemiskinan menjadi dasar Untirta mengusung konsep ketahanan pangan. Agenda tersebut mendapat dukungan dari Islamic Development Bank (IDB) dengan target Untirta menjadi pusat ilmu pengetahuan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan bersumber dari teori Thomas Robert Malthus yang dalam tulisannya berjudul “An Essay on the Principles of Population” menyebutkan bahwa populasi penduduk terus tumbuh dengan rasio geometrik, sementara produksi pangan tumbuh mengikuti deret aritmatik. Kemudian dilengkapi dengan Washington Consensus yang memiliki prinsip bahwa urusan pangan adalah urusan individu dan keluarga, bukan lagi menjadi urusan Negara untuk mengelolanya. Sehingga ciri ketahanan pangan adalah deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Oleh karena itu negara harus menyerahkan seluruh urusaan pangan kepada pasar dan korporasi. Secara praktek ketahanan pangan digulirkan melalui instrumen pertanian berbasis agribisnis. Sistem agribisnis ini berpedoman pada revolusi hijau yang menempatkan pertanian sebagai industri padat modal dan sangat berorientasi bisnis. Petani tidak lagi diperkenankan memiliki bahkan menguasai tanah, menangkar benih, membuat pupuk dan meracik obat-obatan secara mandiri. Situasi diperburuk oleh muara dari ketahanan pangan, yakni penerapan pasar bebas yang tidak adil. Disinilah titik pergeseran pertanian dari yang semula sebagai budaya (agriculture) menjadi bisnis (agribussines).

Situasi demikian yang menyebabkan krisis pangan dunia pada tahun 2008 tak dapat terhindarkan. Belum lagi ditengah pandemi Covid-19 yang menyebabakan ekonomi nasional diambang resesi. Kondisi ini melatari konsumen mengalami kesulitan untuk mengakses pangan, sementara perekonomian yang melambat tentu juga mempengaruhi kehidupan petani sebagai produsen pangan. Karena itu, kita berpotensi besat kembali akan dihadapkan pada krisis pangan lanjutan.

Potensi krisis pangan dapat ditinjau dari laporan The State of Food Security and Nutrition in the World 2020 yang dirilis FAO, bahwa hampir 690 juta orang atau sekitar 8,9 persen populasi dunia masih dalam keadaan kelaparan. Laporan juga memperkirakan hampir 2 miliar orang tidak mempunyai kepastian untuk mendapat akses keselamatan, gizi dan makan yang cukup pada tahun 2019. Sementara yang menjadi paradoks, WHO menyebutkan pada 2016 lalu sekitar 1,9 miliar orang mengalami kelebihan berat badan dan lebih dari 650 juta di antaranya mengalami obesitas.

Jalan Keluar

Jalan keluar dari kelaparan dan krisis pangan sebetulnya telah diusulkan oleh para petani dan rakyat yang bekerja di perdesaan melalui La Via Campesina (gerakan petani dunia) dengan konsep Kedaulatan Pangan pada tahun 1996, bertepatan dengan World Food Summit yang diselenggarakan FAO. Kedaulatan pangan kemudian mendapatkan momentum pada krisis pangan tahun 2008, yang lalu mendasari PBB menerima konsep dan prinsip kedaulatan pangan sebagai alternatif. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa ketahanan pangan yang diusung dunia telah menemui kegagalan. Kedaulatan Pangan juga telah diakui oleh Republik Indonesia karena menjadi inti dari UU nomor 18 tahun 2012 tentang pangan.

Kedaulatan Pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan pangannya secara mandiri, meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran dibidang pertanian, peternakan dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional. Syarat utama dari keadulatan pangan adalah pelaksanaan reforma agraria atau redistribusi tanah kepada petani dan rakyat tak bertanah. Tanah sebagai alat produksi bagi petani dalam menghasilkan pangan menjadi faktor yang sangat penting dan krusial. Kedaulatan pangan juga menekankan pertanian ramah lingkungan atau disebut dengan agroekologi.

Pertanian agroekologis adalah sistem budidaya alternatif yang berbeda dengan pertanian konvensional sekarang ini yang masih berhaluan pada revolusi hijau. Revolusi hijau memaksa petani membeli sarana produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan obat-obatan yang diproduksi oleh perusahaan trans-nasional. Pertanian Agroekologis sebagai suatu sistem pertanian yang menyeluruh dan mempertimbangkan aspek lingkungan, kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat pertanian. Sistem pertanian ini tidak menggunakan benih produksi perusahaan, pupuk dan obat-obatan kimia, tetapi menggunakan benih petani, pupuk dan obat-obatan alami yang ada disekitar tanah pertanian petani.

Karena itu kedaulatan pangan yang dijalankan dengan pertanian agroekologis akan menekan laju ‘depeasantization’ melalui suatu pembaruan sosial. Jun Borras mengatakan pembaruan sosial tersebut dengan sebutan 5 (lima) R, yakni redistribution, recognition, restitution, regeneration, and resistance. Pembaruan sosial ini menempatkan reforma agraria ke jalan pelestarian alam, dengan tujuan keadilan agraria sekaligus keadilan iklim yang menjadi jembatan mewujudkan kedaulatan pangan. Dan yang mampu melakukan itu bukanlah korporasi atau perusahaaan trans-nasional yang berlindung dalam sistem ketahanan pangan. Melainkan para petani yang sudah beribu tahun hidup berdampingan dengan alam.

UntirtaIt’s Green

Dibandingkan ketahanan pangan, kedaulatan pangan sesungguhnya lebih tepat diusung oleh Untirta karena sesuai dengan visi Untirta It’s Green. Untirta It’s Green atau Untirta yang Integrated, Smart and Green bertujuan untuk mewujudkan Untirta sebagai Universitas Kelas Dunia yang berprinsip ekologi dan mampu bersaing di tataran global. Karena itu, semestinya Untirta mengganti haluan dari ketahanan pangan ke kedaulatan pangan.

Apabila langkah ini ditempuh, Untirta diyakini akan menjadi faktor kunci mengembalikan kejayaan pertanian kesultanan Banten, dan ikut andil meluruskan konsep pangan yang akan mengakhiri kelaparan dan krisis pangan didunia. Dengan demikian, pada tahun 2030 kelak, Untirta bisa menjadi World Class University dan pemimpin di kawasan regional ASEAN sebagai kampus kedaulatan pangan. Wallahua’lam bisshowab. (*)

* Penulis Adalah Alumni Untirta Angkatan 2009

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *