Opini; Hari Krida Pertanian Yang Menghianati Semangat Hari Tani

Oleh ANGGA HERMANDA

Dalam mengenang hari wafatnya Bung Karno tanggal 21 Juni 1970, kita belajar menyelami pertarungan ideologi politik sepanjang tahun 1960-an. Pertarungan itu menjadi penentu arah perjalanan Bangsa Indonesia ke masa-masa setelahnya.

Didalam sengitnya pertarungan itu terbesit nama dua tokoh besar bagi republik ini: Bung Karno (Sukarno) dan Pak Harto (Suharto). Kedua tokoh yang menjadi presiden pertama dan kedua RI ini memiliki andil besar dalam ranah agraria dan pertanian kita.

Bung Karno memiliki slogan “Reforma Agraria dan Pangan Menjadi Masalah Hidup-Matinya Suatu Bangsa” dengan dasar Trisakti (Berdaulat Politik, Berdikari Ekonomi dan Berkepribadian dalam Kebudayaan).

Sementara Pak Harto menyemangati kita dengan “Swasembada, Revolusi Hijau dan Ketahanan Pangan” yang melandaskan pada Trilogi (Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan).

Awal Mula Hari Krida Pertanian

Bergerak melewati Gestok (Gerakan Satu Oktober 1965) dan Pidato Nawaksara I & II di MPRS, Menteri Pertanian RI Periode pertama pemerintahan Pak Harto, Thoyib Hadiwidjaja memperingati perayaan Hari Tani tahun 1972. Beliau tercatat bekerja sebagai Menteri Pertanian dari tahun 1968 hingga 1978 dan juga menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) periode 1966 hingga 1970.

Walau rezim telah berganti, Hari Tani sesuai Keputusan Presiden RI (Kepres) Nomor 169/1963 tentang Hari Tani yang disahkan Bung Karno masih tetap diperingati setiap tanggal 24 September.

Sebagaimana diketahui, Hari Tani adalah hari besar bagi petani Indonesia, karena pada tanggal 24 September 1960, UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disahkan. UUPA menjadi tonggak penting kewajiban negara untuk memenuhi Hak Atas Tanah bagi petani melalui redistribusi tanah kepada petani dan rakyat tak bertanah.

Namun penilaian itu tak berlangsung lama, rezim tetaplah rezim, Pak Thoyib mengisyaratkan bermaksud mengganti hari tani dengan hari dan nama yang lain (Budi Setiyono, 2011). Situasi yang serupa juga dialami oleh kaum buruh.

Menteri Tenaga Kerja periode 1966-1967, Awaloedin Djamin saat memperingati Hari Buruh Internasional tahun 1966 mengumumkan akan mengganti Hari Buruh Internasional dengan Hari Pekerja Nasional. Harapan beliau kemudian terwujud pada tahun 1991 dengan menetapkan setiap tanggal 20 Februari diperingati sebagai Hari Pekerja Nasional.

Penentuan pengganti hari tani mencapai puncaknya dengan pengesahan melalui Keputusan Menteri Pertanian RI (Kepmen) Nomor 297 Tahun 1973 tentang Hari Krida Pertanian (kumpulan Buklet Hari Bersejarah I Depdikbud, 1994). Kepmen itu menyebutkan bahwa setiap tanggal 21 Juni tiap tahun diperingati sebagai Hari krida Pertanian yang merupakan satu-satunya hari peringatan di sektor pertanian. Sudah tentu keputusan ini didasarkan atas petunjuk daripada bapak presiden: Pak Harto.

Dari berbagai sumber latar belakang, penentuan tanggal 21 Juni dapat dikaitkan dengan tinjauan aspek astronomis. Bahwa pada tanggal 21 Juni adalah posisi di saat matahari memberikan tenaga kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, yakni berada pada garis Balik Utara (23 ½° LU).

Pada saat itu, keadaan proses produksi tanaman berakhir dan akan dimulai untuk persiapan produksi selanjutnya, sehingga para petani akan menyatakan syukur atas panen raya.

Selain itu, juga dapat dikaitkan dengan sistem pembagian musim yang disebut Pranata Mangsa, yaitu suatu sistem pembagian musim (terdapat 12 musim) yang diuraikan secara lengkap meliputi hujan, angin, serangga, penyakit unggas, dan lain sebagainya. Sehingga tanggal 21 Juni dianggap sebagai permulaan musim dan masa yang baik untuk memulai aktifitas penanaman kembali.

Penetapan Hari Krida Pertanian sabagai satu-satunya hari peringatan disektor pertanian praktis meredupkan semangat Hari Tani dan UUPA, baik secara substansi maupun sosial-budaya petani. Terbukti setelah digilas puluhan warsa, petani secara umum melupakan hak atas tanah yang menjadi kewajiban negara.

Alhasil konflik agraria dari tahun ke tahun tak terelakan, dan petani saat ini hanya dikonsentrasikan sebagai penyewa tanah, pembeli benih-pupuk-obat produksi korporasi dan yang membahayakan menjadi obyek kemiskinan.

HKTI dan Revolusi Hijau

Sebelum Hari Krida Pertanian ditetapkan sebagai pengganti Hari Tani, lebih dari dua purnama setelah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dideklarasikan, pemerintah membentuk Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada tanggal 27 April 1973.

Jejak pembentukan HKTI dapat ditelusuri sejak tahun 1957 yakni ketika Angkatan Darat membentuk Badan-Badan Kerjasama (BKS) dengan sipil. Misalnya serikat buruh BKS dinamakan Buruh Militer (Bumil), Pemuda BKS dinamakan Pemuda Militer, dan tani BKS disebut Tani Militer (Tamil).

BKS Tamil lalu membentuk Kesatuan Aksi Tani Indonesia (KATI), yang kemudian turut serta melengserkan Bung Karno.

Menurut Budi Setiyono (2011), sampai tahun 1968, dari lima belas organisasi massa tani, hanya satu ormas tani yang menolak rencana penggabungan ke HKTI, yakni Sarekat Tani Islam Indonesia (STII). STII merupakan sayap dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Adapun Empat belas organisasi yang menyetujui adalah Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani-PNI), Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (Petanu), Gerakan Tani Sarekat Islam (Gertasi-PSII), Petani Sarekat Islam Indonesia (Petisi), Kesatuan Tani Pancasila (Kata Pancasila-IPKI), Persatuan Tani (Perta-Murba), Persatuan Tani Kristen Indonesia (Pertakin), Ikatan Petani Pancasila (IP Pancasila), Warga Tani Kosgoro (Koperasi Serba Guna Gotong Royong), Rukun Tani Indonesia-Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (RTI Soksi), Gerakan Tani MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong), Gerakan Tani Indonesia (GTI-PSI) , Sarekat Tani Indonesia (Sakti), dan Gerakan Tani Muslimin Indonesia (Gertami-Perti).

Setelah mendapatkan persetujuan mayoritas ormas tani, BKS Tamil membentuk Tim Sembilan yang bertugas melaksanakan rapat cepat di tempat milik salah seorang kolonel Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), di Jakarta. Rapat Tim Sembilan berhasil menyusun rancangan anggaran dasar dan nama organisasi, yakni Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Melalui HKTI program-program pembangunan Pak Harto digencarkan. Pada periode 1970-an hingga 1980-an, Pak Harto tercatat sering mengundang investor asing untuk mendanai infrastruktur pertanian.

Berbekal UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, sejumlah pra-sarana pertanian seperti bendungan, irigasi dan jalan tol dibangun. Dampaknya pada era ini konflik agraria terutama dibidang pertanahan kian berkecamuk diakar rumput. Bahkan perampasan terhadap tanah petani secara besar-besaran oleh kongsi pemerintah dan korporasi menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri hingga hari ini.

Pada masa itu juga pemerintah mulai memperkenalkan Panca Usaha Tani atau nama lain dari Revolusi Hijau, yaitu teknik pengolahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan, pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Dalam waktu singkat tujuan pertanian kemudian begeser dari budaya (culture) ke peningkatan produksi (bisnis).

Para petani yang biasa memanen padi sekali dalam satu tahun, kini mampu memanen dua bahkan tiga kali dalam setahun. Pak Harto lalu dibangga-banggakan karena mampu mencapai swasembada beras dan mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pertanian Pangan Dunia).

Namun penerapan sistem pertanian yang secara ugal-ugalan menggunakan input produksi kimia selama puluhan tahun mengakibatkan tanah kita kini menjadi jenuh, kesuburan tanah dan unsur hara juga mulai terkikis. Disisi yang sama pengetahuan petani tentang pemuliaan benih melalui penangkaran dan pembuatan pupuk/obat alami terus memudar.

Karena itu Revolusi Hijau adalah bisnis kelas dunia yang dinikmati korporasi dalam usaha jual-beli benih dan pupuk serta teknologi pertanian.

Bukan lagi rahasia umum bahwa swasembada Pak Harto dan semangat Hari Krida Pertanian dibangun di atas penghancuran sistem agraria yang menjadi jantung dari pasal 33 UUD 1945, UUPA dan alasan mengapa Hari Tani diperingati setiap tahun. (*)

*Angga Hermanda adalah, Sekretaris Lembaga Kajian Agraria Damar Leuit Banten

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *