Ini 9 Petisi Buruh Tangerang Ngotot Tolak Omnibus Law

TANGERANG; LENSAMETRO- Alasan
ngototnya buruh menolak Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) terungkap.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Tangerang Ahmad Supriadi mengungkapkan, penolakan para buruh terhadap Omnibus Law lantaran ada sejumlah pasal yang merugikan kaum buruh.
“Ada 9 petisi yang kami sampaikan ke Pemkab Tangerang agar aspirasi buruh Kabupaten Tangerang bisa disampaikan ke pemerintah pusat,” ujar Ahmad Supriadi kepada lensametro, Selasa (6/10/2020).
Sembilan petisi yang disampaikan tersebut terang Ahmad yakni terkait alasan sikap KSPSI Kabupaten Tangerang menolak Omnibus Law.
Sedangkan 9 petisi tersebut yang menjadi alasan mengapa buruh ngotot menolak Omnibus Law yakni ;
1. Mengurangi apalagi meniadakan pesangon kepada pekerja sebagaimana ketentuan yang diatur Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 Pasal 156 ayat 2,3, dan 4.
2. Tidak adanya pembatasan PKWT (kontrak) di setiap bidang pekerjaan dan menolak PKWT (kontrak) diberlakukan di semua sub bidang dalam perusahaan, serta menuntut PKWT dihapuskan.
3. Dimuatnya kembali sistem outsourcing dan mohon dihapuskan.
4. Adanya penghapusan tentang hal upah cuti pekerja : cuti haid, cuti melahirkan, cuti pembaktisan, cuti menikah, cuti khitan dan cuti keagamaan.
5. Dibilangnya upah atas pekerja yang sedang dalam keadaan sakit dan tidak mampu bekerja.
6. Diberlakukannya sistem kerja dengan upah no work no pay (tidak bekerja tidak dibayar) sangat merugikan pihak pekerja yang  berakibat secara sepihak dan sewenang-we a v pengusaha/pemberi kerja dengan berbagai alasan dapat meliburkan atau mengistirahatkan pekerja secara sepihak tanpa membayar upah.
7. Adanya penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) dan menolak sistem penetapan besaran upah minimum kabupaten/kota dengan mengacu kepada inflasi dan 50 persen pertumbuhan ekonomi di daerah provinsi masing-masing.
8. Adanya ketentuan PHK dapat dilakukan secara sepihak oleh pengusaha tanpa melalui penetapan terlebih dahulu oleh PHI, dan menolak sistem kompensasi apabila PHK akibat indispliner hanya dibayarkan sebesar 50 persen dari hak pesangon pekerja.
9. Sistem kerja dibayarkan berdasarkan perhitungan satuan waktu/jam yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan, ketentuan ini sangat tidak relevan dan akan menambah kesengsaraan kaum pekerja.
“Memang benar ada cuti, tapi tidak ada bayaran dari cuti tersebut. Pun pesangon tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003,” pungkas Ahmad. (joe)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *